Senin, 25 Juli 2011

Among-Among


AKU tak lagi muda. Tak lagi mampu membawa setumpuk bantal, melintasi delapan gerbong kereta ekonomi guna menyewakannya pada penumpang. Berebut jalan sempit dengan puluhan pedagang dan pengamen yang setia berkawan dengan malam. Mengais rezeki demi sekeping uang logam lima puluh rupiah –kini kira-kira seharga tiga lembar kertas bergambar Pahlawan Pattimura. Aku bahkan tak lagi mampu membawa diriku sendiri menuju kamar mandi. Butuh tangan anakku untuk sampai di ruang pembuangan itu. Rupanya aku sudah terlalu renta, sudah bau tanah kata orang. Umurku bahkan sedang merayap menuju angka delapan puluh satu pada penghujung tahun ini, tiga hari lagi. Anakku yang mengingatkan hari lahirku itu ketika dia menyeka tubuhku kala senja.

Bertahun-tahun aku tak mempedulikan hari peringatan kemunculan ragaku itu. Tidak terlalu penting bagiku. Toh, tanggal yang tertera pada KTP seumur hidup milikku hanya rekayasa pemerintah saja. Tanggal yang hampir serempak dimiliki oleh pensiunan seusiaku. Tanggal istimewa bagi orang-orang yang tak mengetahui jejak kelahirannya. Tanggal, bulan dan tahun yang dibuat hanya untuk kepentingan administrasi menjadi ambtenaar.
Aku sendiri tak pernah tahu sejatinya tanggal, bulan dan tahun lahirku. Aku hanya tahu weton-ku dari ibu, hari Senin Pon, sesuai dengan penanggalan Jawa yang tepat menunjukkan tahun Wawu. Weton dan tahun Jawa itu pun tak mampu melacak secara tepat hari kelahiranku. Jadilah hari kelahiranku ditentukan berdasarkan ilmu perkiraan, tanggal dan bulan di penghujung tahun Masehi delapan puluh satu tahun yang lalu.
Seandainya orang tuaku berpendidikan, mungkin mereka akan sedikit mau peduli dan aku bisa tahu secara pasti usiaku saat ini. Tapi zaman geger kala itu telah mengaburkan kepedulian orang tua terhadap hari kelahiran. Mereka tidak terlalu mementingkan angka-angka kelahiran macam itu. Para orang tua zaman itu, hanya perlu mengingat weton saja sebagai penanda kelahiran. Berdasarkan perhitungan Jawa tentunya, karena kami adalah anak-cucu Adam yang dilahirkan dari perut orang-orang pribumi Jawa. Mereka hanya kenal angka-angka Latin berdasarkan angka yang tertera pada mata uang yang beredar waktu itu. Kebodohan memang merajai, meski masa pergerakan telah berkumandang.
Aku hampir saja menjadi penerus orang tuaku yang tak tahu-menahu soal huruf dan angka yang dibawa oleh orang-orang berkulit putih itu. Untunglah aku sempat mengenyam Sekolah Rakyat, karenanya aku tak lagi mengenal kata buta huruf. Lalu aku mengabdi menjadi ambtenaar, setelah memutuskan pensiun dari profesi tentara liar pada masa perang kemerdekaan.
Ya, aku pernah berjuang berperang melawan orang-orang kulit putih yang bercokol hingga ratusan tahun itu. Aku rela menukar nyawaku demi sebuah kata: Merdeka!
Aku bangga dengan perjuangan itu, meski tak ada secuil penghargaan pun tersemat di dadaku. Jasaku tak tampak, seperti kapas yang terbang tertiup angin, hilang entah ke mana. Banyak jenderal dengan jasa besar yang memerlukan penghargaan itu. Aku tak terlalu memerlukannya, karena aku hanya tentara liar. Tentara yang tak mau bergabung dengan tentara bentukan pemerintah orde lama ketika demobilisasi militer berlangsung, pasca penyerahan kedaulatan bangsa ini. Tentara yang pernah memerangi dua pemerintahan, pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia.
Negara yang kupertahankan pada akhirnya kuperangi. Aku terpaksa. Zaman yang menyeretku untuk melakukannya. Orang berpendidikan ongko loro seperti diriku tak terlalu paham dengan situasi kala itu. Loyalitas pemimpinlah yang kujunjung tinggi, setelah kemerdekaan diraih oleh bangsa ini. Zaman telah menuduh tentara-tentara liar seperti diriku –yang bergerombol di beberapa wilayah setingkat kabupaten- sebagai pengkhianat bangsa yang ingin mendirikan sebuah negara di dalam negara.
Tak semua pembangkang yang enggan senjata mereka dilucuti -seperti halnya diriku- menginginkan pendirian negara itu. Kami hanya menginginkan suara tentang negara berdasar ideologi ajaran agama yang kami anut diperdengarkan. Kami hanya korban orang-orang yang diperbudak kekuasaan saja. Takut ideologi mereka tersingkir. Jadilah tentara-tentara liar -seperti diriku- disebut sebagai pemberontak.  Karenanya aku memutuskan tak mengambil gelar veteran yang diberikan pemerintah sebagai sebuah penghargaan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan. Aku lebih memilih mengabdi kepada kereta. Angkutan masa kecilku yang selalu membawaku bersama setumpuk tebu untuk dihantarkan ke pabrik-pabrik gula milik pemerintah Hindia Belanda.
Aku terlalu cinta dengan kereta, hingga hampir seluruh sisa hidupku kucurahkan untuknya. Tentunya sebelum kelumpuhan ini melanda ragaku. Aku masih sempat bergumul dengan kereta di masa pensiunku dengan menjadi kuli ireng. Salah satu profesi yang membutuhkan kecermatan. Memeriksa rangkaian besi yang disebut rel, apakah ada yang rusak atau hanya bergeser. Bila sedang dinas sering kali mengenakan seragam hitam sambil menenteng lampu teplok, hingga membuat diriku ditakuti sekerumunan anak kecil yang bersiap menancapkan paku-paku di atas rel supaya menjadi pipih karena terlindas roda kereta. Terkadang aku terpaksa mengusir mereka layaknya mengusir ayam-ayam pemakan gabah yang sedang dijemur.
Aku begitu mencintai profesiku sebagai tukang masak kereta yang sesekali merangkap profesi menjual menu makanan dan menyewakan bantal kepada penumpang. Begitu cintanya pada profesi itu, aku tak pernah sekalipun menerima tawaran pimpinanku untuk naik pangkat menjadi kondektur. Aku tak pernah menyukai pekerjaan yang memperbolehkan penumpang gelap berkeliaran di kereta itu, meski masih dalam satu lingkup pekerjaan: di kereta.
Bagiku menjadi koki kereta sudah cukup. Orang yang tak memiliki keinginan muluk-muluk seperti diriku ini, bisa menghidupi istri dan seorang anak, itu sudah membuatku bersyukur. Kebutuhan hidup kami tak sebanyak kebutuhan hidup pejabat-pejabat negeri ini. Profesi yang menghantarkan aku ke kantor pos pada tanggal lima setiap bulannya guna mengambil jatah pensiunku itu sudah cukup pula membuatku bertahan hidup.
Dan di usia delapan puluh satu ini, dua tahun sepeninggalan istriku, aku ingin merayakan hari kelahiranku itu. Aku meminta Mince, anak angkatku dan istriku, untuk menyiapkan rupa-rupa perayaan. Mantan banci Stasiun Tugu itu cukup terampil untuk persoalan perayaan dengan suguhan beragam menu masakan. Tak cuma soal dandan dan bergoyang saja yang ia bisa, menyiapkan santapan yang lezat adalah keahlian lainnya setelah ia mundur dari dunia yang memiliki status dilematis itu.
Hari itu tiba. Tepat di penghujung tahun Masehi, persis di hari Senin Pon. Di usia yang menghantarkanku pada kursi roda. Aku meminta Mince menyiapkan satu termos nasi putih, satu mangkuk besar kluban, semangkuk kecil sambal kedelai hitam, beberapa batang kerupuk rambak dan lima belas telor rebus untuk menu perayaan itu. Tak lupa pula aku menyuruh pria seperempat abad itu membawa uang receh lima ratusan yang bergerombol di kantong kecil seukuran kantong tempat batu pelempar jumrah. Persiapan sederhana untuk perayaan yang sederhana pula.
Sepasang kaki melangkah menuju gerbong-gerbong kereta tak bertuan yang menua di parkiran Stasiun Lempuyangan. Kaki milik Mince yang setia menghantarkan kursi rodaku ke mana pun tujuan yang aku mau. Kakinya telah menjadi kakiku sejak setahun terakhir ini. Mengganti langkah kakiku yang tak lagi mampu menapaki tanah dengan gerak rangka tubuhku sendiri. Tubuhku seolah-olah tak lagi berfungsi seperti waktu aku masih mampu mengangkat senjata dulu.
Namun, kali ini pangkuanku cukup berfungsi untuk meletakkan sebuah bungkusan santapan perayaan hari lahirku dengan beralaskan baskom. Dua buah tampah terselip di sela-sela tanganku dan tangan kursi rodaku. Sebuah termos ukuran sedang menggantung di gagang kursi roda yang terletak di belakang. Selebihnya, barang-barang seperti air minum, sekantung receh lima ratusan, beberapa lembar daun pisang dan sebuah kamera tahun 1990-an yang kubeli di Pasar Klitikan, dibawa oleh anak semata wayangku itu.
Baru saja memasuki pelataran stasiun kelas ekonomi di kota kelahiran istriku, kami dihadang oleh dua bocah kumal yang mulai beranjak remaja. Rahman dan Ali, nama pemberianku dulu, ketika kutemukan keduanya tergeletak di salah satu pintu masuk gerbong kereta dinasku.
Waktu itu kedua bocah bisu itu lunglai menahan lapar setelah dua hari tak peroleh recehan dari penumpang untuk menukarkannya dengan sebungkus nasi di kantin kereta. Dua bocah yang tak mengenal ayah dan ibu kandung itu, merintih kesakitan ketika kereta berhenti di Pasar Senen. Lalu kusodorkan dua piring nasi goreng yang tak habis terjual semalam dan dua gelas susu untuk menetralisir asam lambung yang melilit perut mereka. Lahap mereka menyantapnya, seperti orang kerasukan makhluk sejenis jin. Setelah itu, mereka selalu setia menemani malam-malamku saat masih bertugas sebagai koki kereta. Ketika aku pensiun, mereka tak lagi terlihat di lintasan kereta Pasar Senen-Lempuyangan. Kuketahui belakangan ini mereka beralih profesi menjadi kuli panggul di Pasar Bringharjo, namun tetap tidur: di kereta.
 Rahman segera menyambar bungkusan taplak meja beralaskan baskom yang ada di pangkuanku. Ali tak kalah sigap, meraih termos yang tergantung di kursi roda. Mereka berlari kecil mengarahkan kami menuju gerbong tempat kawan mereka berkumpul. Tiba-tiba aku begitu bersemangat, seperti kala kulafalkan doa-doa yang menyertai peluru senapanku menghujam ke jantung salah seorang serdadu kulit putih. Aku pun memaksa Mince untuk mempercepat laju kursi roda. Aku tak sabar lagi berkumpul di tengah bocah-bocah tak terurus itu.
Sampailah aku pada gerbong hitam berkarat yang terparkir di sudut Stasiun Lempuyangan. Kulihat ada sembilan bocah yang setia menunggu aku dan Mince sejak matahari mulai bergeser ke barat. Rahman dan Ali meletakkan barang bawaan mereka dan Mince mulai membuka bungkusan taplak berisi santapan perayaan itu. Mulailah ia meracik masakan yang dibuatnya sedari subuh itu.
Kedua tampah direntangkan, kemudian dilapisi beberapa lembar daun pisang hingga menutupi seluruh permukaannya. Nasi ditumpahkan ke tampah, berturut-turut diatasnya ditaburi kluban dan sambal kedelai. Air untuk cuci tangan dituangkan dalam baskom yang dicampur dengan daun sirih yang biasa dipakai pengantin Jawa ketika prosesi injak telur. Bungkusan lima belas telor rebus dibuka. Uang logam lima ratusan telah berada di tangan Mince.
Aku segera mengomandokan sebelas bocah itu untuk mengerumuni dua tampah yang ada di hadapan mereka. Sebelumnya kusuruh mereka mencelupkan tangan-tangan mungilnya ke dalam baskom berisi air bercampur daun sirih yang biasa digunakan untuk menyumbat hidung yang terkena mimisan. Lalu kubaca doa-doa yang sering kupanjatkan setelah selesai bersembahyang. Doa itu sesekali diiringi sahutan dari mulut-mulut kecil mereka yang mengamininya.
Mereka masih merasa asing doa-doa yang kupanjatkan. Lain halnya dengan diriku waktu masih seusia mereka. Doa itu sering kali mampir ke telingaku ketika mengikuti jamaah sholat maghrib. Keberuntungan sedikit berpihak pada masa kanak-kanakku dibanding masa kecil bocah-bocah terlantar itu. Aku bebas berguru kepada siapa saja untuk memperoleh ajaran Muhammmad, nabi agamaku.
Mereka tak pernah mengenal agama sedari lahir, apalagi untuk mencicipi bangku sekolah. Janji pemerintah yang tersemat selama puluhan tahun di salah satu pasal undang-undang negara ini, mirip bualan saja. Realisasi dengan janji tak seimbang. Mungkin anak terlantar seperti mereka lebih banyak dibandingkan pegawai-pegawai pemerintah di negeri ini, sehingga pemerintah tak sanggup menanggung hidup mereka sampai batas dewasa. Wajarlah jikalau begitu realitanya. Lagi pula suara mereka tak terdengar. Begitu lirih karena lapar telah menyiksa pita suara mereka, hingga tak mampu mengetuk pintu hati pemimpin negeri ini. 
            Doa-doa terucap sudah. Mince membagi-bagi telur ayam dan kerupuk kepada setiap bocah. Seorang mendapat sepotong telur dan tiga batang kerupuk rambak. Lalu aku mengimami mereka mengucapkan doa sebelum makan. Barulah kupersilahkan sebelas bocah itu menyantap hidangan yang ada di hadapan mereka.
            Tanpa kuperintah, Mince memotret peristiwa penting itu, membidik dari berbagai sudut, bagai seorang fotografer profesional. Aku hanya tersenyum simpul dengan sesekali bergumam rasa syukurku kepada Penguasa Hidup ini.
            Sebelas bocah itu menyantap masakan Mince dengan lahap. Terlihat seperti penguasa-penguasa yang berebut kursi presiden pada dua pemilu terakhir bangsa ini. Tapi bocah-bocah itu lebih beradab, tak mau saling sikut bahkan sesekali berbagi lauk.
            Lamunanku sejenak melambung ke masa lalu. Tujuh puluh tahun yang lalu, aku masih mengalami peristiwa yang sedang berlangsung di hadapanku saat ini. Perayaan tradisional yang oleh warga kampungku di pesisir selatan Jawa Tengah bagian barat disebut dengan kata among-among. Puluhan tahun aku tak merasakan kebersamaan yang memberi kesan mendalam tentang teman-teman sepermainanku dulu. Kebersamaan yang tertumpah pada satu wadah yang membuat perut-perut bocah-bocah kelaparan –seperti diriku dulu- tak lagi berbunyi. Aku rindu pada perayaan among-among. Detik ini rindu itu telah terobati bersama kesebelas bocah penghuni stasiun kereta dan Mince.
            Lamunanku tersadar, ketika gemerincing recehan mengetuk telingaku. Rupanya Mince sedang membagikan recehan yang tersimpan dalam kantong kecil miliknya setelah kesebelas bocah itu menghabiskan makan siang sekaligus makan malam mereka. Seorang mendapat empat buah logam putih atau kuning seharga lima ratus rupiah. Perayaan kelahiranku tunai sudah. Perayaan among-among yang diusahakan mirip seperti among-among masa kecilku. Perayaan yang dipersembahkan untuk bocah-bocah –seusia diriku dulu.
Di akhir perayaan itu, aku meminta penjaga mushola stasiun kereta untuk memotret gambarku dan Mince di tengah kesebelas bocah yang jadi tamu undanganku itu. Di sela-sela lampu blitz yang redup, tiba-tiba ada sentuhan halus mampir di pundakku. Sentuhan tangan Mince yang setia merawatku di sisa nafasku ini. Lantas kubisikkan sebait kata di telinganya: Le, sesuk fotone mbok pajang neng ruang tamu yo! []        
Sarolangun, Januari 2009

Catatan:
Among-among: sedekah hari lahir (semacam perayaan ulang tahun) yang khusus dimeriahkan oleh anak-anak kecil. Ambtenaar: pegawai pemerintahan. Weton: hari kelahiran (hitungan Jawa) yang berarti 35 hari sekali. Pon: salah satu nama hari pasaran (hitungan Jawa), terdiri dari 5 hari: Pon, Wage, Kliwon, Legi atau Manis dan Paing. Wawu: salah satu nama siklus windu atau siklus delapan tahunan tahun Jawa (terdiri dari: Alif, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu dan Jimakir). Ongko loro: (sekolah) angka dua, setingkat Sekolah Rakyat atau saat ini disebut Sekolah Dasar. Kuli ireng: kuli hitam. Lampu teplok: sejenis lampu badai. Kluban: atau gudangan, rebusan beberapa jenis sayuran yang dicampur dengan parutan kelapa yang telah dibumbui. Tampah: anyaman bambu berbetuk lingkaran dengan garis tengah kira-kira setengah meter, berfungsi sebagai peralatan dapur yang serbaguna. Le, sesuk fotone mbok pajang neng ruang tamu yo: nak, besok fotonya dipajang di ruang tamu ya. 

Tidak ada komentar: