PUKUL dua pagi. Kulihat angka digital yang tertera di ponselku. Lelapku terusik oleh suara samar serupa bocah yang tertawa cekikikan. Bulu romaku mulai bangkit. Terbayang di kepala, telingaku yang sedang terjaga ini mendengar suara dari dunia yang lain. Aku goyang-goyang tubuh istriku yang sedang rebah di sampingku. Menanyakan apakah pendengarannya menangkap suara yang sama. Dengan mata setengah terbuka istriku mencoba mencari sinyal suara yang kumaksud.
“Iya bang, ada suara tawa anak kecil. Anak siapa sih malam-malam begini bangun. Mengganggu saja!” katanya sembari bersungut.
“Entahlah, sepertinya dari arah depan bedeng ini. Yuk, kita lihat!” ajakku dengan hati sedikit tenang. Telinga istriku ternyata menangkap suara yang telah membangunkanku tadi.
Kami mengendap-endap dari pembaringan menuju jendela yang terletak di ruang tamu. Sibakan kecil tanganku pada gorden yang menutupi jendela itu memberi celah pada mata kami untuk melihat kondisi luar bedeng. Samar-samar kami melihat seorang bocah bekerjar-kejaran disusul oleh seorang perempuan dan lelaki dewasa di halaman rumah yang ada di seberang jalan.
“Anak kok dibiarin begadang. Kirain anak dedemit.”
“Ado-ado bae yo[1] bang. Ayo tidur lagi.”
Keesokan harinya, kami kembali dikagetkan dengan nada-nada yang didengungkan kotak kecil yang biasa digunakan sebagai pengeras suara supaya lirik-lirik dan musiknya mampu terdengar hingga beberapa meter dari asal suara. Pukul enam pagi, dentuman lagu daerah yang dipermanis dengan musik disco bertalu-talu membangunkan manusia-manusia yang masih terlelap. Kalau semalam suara pengganggu itu berasal dari depan rumah, kali ini asalnya dari bangunan yang berdiri di samping bedeng. Musiknya membuat tubuh bersemangat bangun karena mendapat reaksi yang mengejutkan.
Terdengar jelas kata-kata yang diucapkan kaset yang sedang diputar itu. Kata-kata yang tak lagi asing buatku. Aku sangat mengenal lirik lagu itu. Lagu kesukaan istriku. Lagu daerah kelahiran perempuan yang sedang mengandung anakku. Ketimun Bungkuk, jawabnya saat kutanya apa judul lagu yang baru kali itu terdengar di telingaku.
Sudah nasib ketimun bungkuk tak masuk dalam timbangan/ Sudah nasib ketimun bungkuk tak masuk dalam timbangan/ Tak jugo dalam itungan, aduh sayang/ Apolagi masuk dalam idangan…[2]
Lagu yang juga sering diputar di ponsel istriku itu, kali ini terdengar lebih rancak, lebih nge-beat, begitu istilahnya kalau aku mendengar orang menggambarkan sebuah lagu yang iramanya memekakkan telinga. Cocok untuk mengiringi olahraga aerobik atau acara pesta yang dilantunkan oleh organ tunggal.
Agak siang, sekitar pukul sembilan pagi hingga empat sore –waktu maksimal, giliran salon milik orang yang cucunya begadang itu mengumandangkan lagu-lagu paling anyar di belantika musik negeri ini. Maklum saja, rumah itu menyatu dengan bengkel yang dijadikan tempat nongkrong anak-anak muda yang masih sekolah di Menengah Atas. Lagu-lagu yang mereka putar lebih condong ke musik pop campur Melayu. Lain halnya dengan lagu-lagu yang diputar oleh pemilik rumah samping bedeng yang memiliki selera dangdut dengan nuansa campur sari-nya Jambi atau Padang.
Sesekali, tetangga bedeng kami yang paling ujung juga menyetel lagu-lagu Indonesia atau lagu-lagu Barat yang agak jadul. Tetap dengan bunyi yang maksimal dari tombol yang menempel di VCD yang terpajang di ruang depan tetangga kami itu. Seringnya setengah dari bunyi maksimal itu. Ada batita, mungkin itu yang menjadi alasannya.
Bagiku, terutama bagi istriku yang sedang berbadan dua, tetap saja memutar lagu-lagu dengan volume yang serasa merobek gendang telinga adalah perbuatan yang sangat mengganggu. Ya, terkadang kami ikut menikmatinya. Kami juga bukan orang yang anti-musik, kami pecinta musik seperti halnya yang diungkapkan dalam lagu Titik Puspa. Sik.. sik.. sik.. saya suka musik, semua orang suka musik, seluruh dunia suka musik… Hanya saja penempatan waktu dan volume menyetelnya yang kurang etis. Saat orang baru terbangun, saat orang-orang mulai merebahkan badan untuk menikmati tidur siang atau saat-saat tertentu yang kadang orang bisa terganggu dengan suara bervolume tinggi itu.
Suara-suara itu kami dengar hampir tiap hari. Bahkan mesin pemutar CD depan rumah kami seolah tak pernah absen memutar lagu-lagu yang mereka sukai. Anak-anak muda itu selalu menyempatkan waktu luang mereka untuk sekedar berkumpul di bengkel itu. Dua puluh empat jam non-stop. Pagi hingga sore hari untuk musik, ba’da isya hingga tengah malam untuk mengobrol atau bermain kartu remi. Sepertinya tak ada waktu luang bagi mereka untuk disia-siakan di tempat favorit mereka itu. Aku dibuat sebal karenanya. Bagiku mereka mensia-siakan masa muda hanya dengan kegiatan seperti itu. Nongkrong sambil otak-atik motor, otak-atik motor sambil dengerin musik. Makin keras, makin asyik. Sialan!
“Kita seperti tinggal di pinggir rel kereta dek, kupingnya harus adaptasi.”
“Iya bang. Aku tak biasa dengar suara-suara sekeras itu selain kalau ada pesta. Anak-anak muda zaman sekarang sepertinya sudah terkena krisis moral, jarang yang mengamalkan toleransi. Sepertinya toleransi yang diajarkan di sekolah itu lebih sekedar pemanis buku pelajaran.”
“Begitulah realitanya. Yang sabar saja, lagian lagunya juga lumayan asyik.”
“Ada lagu daerah Jambi, Padang, Palembang, dangdut, lagu-lagu anyar, disco sampai lagu Barat. Komplit dech. Bisa request tuch. Tapi sayang yang diputar itu-itu saja. Monoton. Saking seringnya sampai hafal, he..he…”
“Bener banget. Pak Gendut sukanya campur-sarinya Jambi, sebelah kadang lagu Indonesia lawas kadang lagu Barat lawas, pokoknya yang lawas-lawas dech. Kalau yang punya bengkel sukanya mutar lagu teranyar. Kita yang nggak punya tivi saja tahu perkembangan musik Indonesia terbaru. Tidak kalah sama yang punya tivi, betul nggak? Ha..ha…”
“Ah, abang bisa aja. Tapi emang bener banget. Apalagi sekarang lagi musim kawin, anak muda yang suka ngumpul di bengkel itu pantas aja hobi mutar lagunya Wali yang Cari Jodoh. Mereka pengen kali ya, merasa nggak laku jadi begitu. Ha..ha…”
Tak hanya aku dan istriku yang merasa terusik dengan suara-suara yang selalu terdengar membahana itu. Warga kampung yang waktu itu sedang memperbaiki sanyo kami pun merasa risih dengan suasana kampung yang selalu diiringi musik gratis. Live concert dari salon-salon tetangga kami.
“Kami yang tetangganya sudah biasa dengan suasana pesta seperti ini. Sudah maklum dengan kebiasaan mereka.”
“Suasana pesta yang bagaimana, bang?”
“Setiap orang mengadakan pesta pasti kan ada musiknya, yang didengar sampai ujung kampung. Jadi kampung ini tiap hari ada pesta, tidak pernah absen.”
“Ah, abang ado-ado bae.”
“Bener kan? Tiap hari mereka pesta, menyetel musik?”
“Ya, memang. He...he…”
Pesta. Warga kampung biasa menyebut acara hajatan keluarga dengan kata itu. Cukup asing bagiku yang terlahir dan besar di pulau terpadat penduduknya di negeri ini. Tapi ada benarnya juga, orang zaman sekarang jikalau mengadakan hajatan tak pernah lepas dengan musik-musik yang membahana. Bukan lagi dari kaset-kaset, melainkan langsung dari mulut penyanyi sewaan yang sepaket dengan alat-alat menyanyi dalam organ tunggal. Usaha-usaha organ tunggal kian marak untuk konsumsi kalangan menengah ke bawah. Tak seperti dulu, hanya orang yang berduit yang mampu menyewanya. Sekarang, tak bermodal pun berani menyewa. Yang penting meriah, soal dana belakangan.
Seminggu ini istriku terserang sakit gigi. Gerahamnya dimakan ulat-ulat putih yang pelan-pelan mengebor gigi yang terletak di dalam mulutnya itu. Aku kasihan melihatnya. Menungguinya aku tak mampu. Terpaksa kutinggalkan demi mendapatkan biaya hidup. Kami hanya hidup berdua, jauh dari orang tua maupun mertua. Mau tak mau harus hidup mandiri meski terkadang kerepotan jikalau salah satu dari kami terserang sakit. Terkadang tetanggalah yang kami jadikan saudara.
Istriku hanya bisa berbaring di kasur tipis yang menempel di lantai yang beralaskan karpet, sembari menahan ngilu yang menusuk-nusuk gerahamnya. Penderitaannya mungkin tak akan separah itu jikalau perempuan yang sangat kucintai itu tidak sedang hamil tua. Tak sembarangan obat yang harus ditelannya untuk mengurangi rasa sakit itu. Bawaannya merajuk dan marah-marah bila ngilunya terasa seperti tertusuk-tusuk jarum.
Seperti pagi ini. Setelah Subuhan, ia memintaku menemaninya tidur. Ngilunya kambuh lagi. Nyut…nyut… katanya. Terbayang olehku yang pernah mengalami sakit gigi, bagaimana perjuangan istriku melawan rasa ngilu itu. Suara sekecil apapun mampu menggerakkan otot-otot gusinya hingga memperparah rasa sakit sebelumnya. Pantaslah orang yang pipinya membengkak gara-gara ada lubang di giginya, pasti bawaannya ingin marah dan melempar sesuatu. Syaraf-syaraf yang ada di kepala si penderita sakit gigi menyerang simpul-simpul kemarahan yang tak bisa dibendung lagi oleh pesan-pesan otaknya.
Saat istriku terdiam, pertanda bahwa dirinya telah berhasil melumpuhkan rasa sakitnya dengan tiga butir obat yang baru saja diminumnya. Tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan syaraf-syaraf gusi yang ada di sekitar gigi berlubang istriku. Suara yang memekak telinga manusia serta membuat jantung dalam dada berdegup tak seperti biasa. Suara bervolume tinggi yang datang dari bedeng paling ujung.
Kulihat reaksi istriku, polos. Tak ada erangan kesakitan. Aku lega. Baru saja kelegaan menggelayuti hatiku, aku dikejutkan oleh gerakan tubuh istriku yang memegang pipi bengkaknya sembari berguling-guling menahan kesakitan dan menunjukkan jarinya ke arah asal suara bervolume tinggi itu. Aku semakin kalut dengan menahan rasa bingung yang menyerang secara tiba-tiba.
“Sabar…sabar… ya dek.”
Aku berusaha menenangkan kesakitan yang tengah mendera calon ibu anakku itu. Tapi sepertinya sia-sia saja. Istriku malah semakin menjadi. Air matanya kian deras, erangannya tambah keras, guncangan tubuhnya semakin membuatku pilu. Perlahan-lahan amarah memasuki relung hatiku. Kesabaran yang kutahan-tahan selama menjadi penghuni bedeng tak lagi bisa kupertahankan. Kemarahanku sudah sampai ke ubun-ubun.
Tergesa-gesa kakiku melangkah menuju pintu tetangga bedeng kami, kuketuk pintunya, tidak juga terbuka. Lalu kugedor pintu yang pernah jebol oleh penghuni bedeng sebelumnya. Keluarlah penghuni yang menyalakan volume mesin pemutar CD itu keras-keras.
“Bisa ndak matiin lagunya! Istri saya sedang sakit!”
“Sabar bang, ngomong baik-baik jangan bentak-bentak gitu!”
“Kesabaranku sudah habis gara-gara kebiasaanmu yang tak memiliki toleran itu! Kalau aku ndak teriak begini mana dengar telinga kamu yang sudah disumpal sama bunyi suara CD-mu itu!”
Aku berlalu meninggalkan pintu tetangga bedeng menuju ke kamar yang merebahkan tubuh istriku. Tanpa kupedulikan suara kesal tetangga yang telah mematikan suara bervolume tinggi itu. Aku dan istriku bersiap-siap pergi meninggalkan bedeng. Membawa istriku yang terus kesakitan menuju rumah sakit terdekat dengan membopongnya ke mobil seorang kawan yang baru saja kuminta bantuannya untuk mengungsikan istriku dari suara-suara bervolume tinggi itu.
Janganlah beibo nian wahai ketimun bungkuk/ Esuk subuh masih ayam bekokok/ Segalonyo isi alam pasti ado duonyo/ Kalo ado malam ado siangnyo….[3]
Lamat-lamat kudendangkan akhir lagu kesukaan istriku ketika aku menatap wajah tetangga kami yang merengut karena kata-kata yang telah kulontarkan tadi. Aku berlalu sambil terus menenangkan diri dengan kata-kata dalam hati yang mengharapkan sesuatu yang buruk tidak terjadi pada istri dan bayi dalam kandungannya. Lagu itu terus mengiringi kepiluan hati atas derita istriku.
[1] Ado-ado bae yo = Ada-ada saja ya.
[2] Salah satu lagu daerah Jambi berjudul “Ketimun Bungkuk” yang dalam Bahasa Indonesia berarti: Sudah nasib ketimun bungkuk tak masuk dalam timbangan/ Sudah nasib ketimun bungkuk tak masuk dalam timbangan/ Tak juga dalam hitungan, aduh sayang/ Apalagi masuk dalam hidangan.
[3] Kelanjutan lagu “Ketimun Bungkuk” yang berarti: Janganlah terlalu bersedih wahai ketimun bungkuk/ Besok subuh ayam masih berkokok/ Segala yang ada di alam pasti ada kebalikannya/ Kalau ada malam ada siangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar