IBU.
Mengapa sekarang aku lebih banyak menangis untukmu?
Untuk cintamu yang tak pernah kumengerti.
Engkau selalu korbankan rengekanku demi orang yang kusebut ayah. Kehangatanmu seolah tak terasa di tubuhku sewaktu aku membutuhkan sosokmu. Kenakalan yang kuberbuat engkau bayar dengan gelegar suara ayah dan tangis yang tak pernah kumengerti. Aku tak sanggup seperti engkau, IBU. Aku tak sanggup menerima makian, hujatan dan tamparan dari seorang lelaki yang akan menemani aku di lebih dari separuh kehidupanku.
Setahun meninggalkanmu, air mataku sepenuhnya untukmu. Ingatkah engkau, pelukan kesedihan yang kau berikan padaku saat aku baru tiba di rumah mungil kita? Tak pernah sekalipun selama menjadi anakmu, aku menerima pelukan yang tak aku mengerti. Pelukan kepiluan IBU. Aku mendengar, engkau tengah dilanda cemburu dan bibirmu berkata bahwa engkau sedang dihujam oleh malu.
Ada perbedaan yang kurasaan dengan cintamu padaku, IBU. Aku merasa engkau lebih mencintaiku setelah aku beranjak dewasa. Mungkin karena aku mulai mengerti dengan penderitaanmu. Atau mungkin karena aku tak lagi bisa disampingmu setiap waktu. Aku melihat sepi sedang merayap mendekati engkau, IBU. Sepi mulai menyukaimu dan seolah tak mau berpisah denganmu. Engkau menyadari kesepian itu. Engkau mulai takut diselimuti oleh sepi. Aku tak bisa menolong memusnahkan kesepian itu.
Aku hanya bisa menangis bila mengingatmu, IBU.
AYAH.
Aku teramat sakit hati padamu.
Hatiku seperti tak rela ketika bibirku mengucapkan maaf untukmu, AYAH. Kata-kata yang kau dengungkan untukku tentang pengorbanan orang tua tak akan pernah bisa terbayarkan oleh anak-anakmu. Engkau tak mampu menghapuskan rasa sakit hati itu.
Aku memujamu dengan ketakutanku.
Aku hampir terserang gila karenamu.
Rasa sayangmu terhadapku telah membuahkan benih ketakutan di hatiku. Engkau mencintaiku dengan caramu. Rasa sayang yang diungkapkan dengan kekejaman dan ketakutan dosa di akhir zaman. Seperti halnya cinta yang kurasakan dari ibu, rasa cinta darimu juga tak kumengerti. Engkau menemani masa kecilku dengan belaian tanganmu, bukan belaian ibu. Mengantarkanku pada sosok lelaki yang serupa tapi tak sama denganmu. Itu yang aku syukuri dari sikap tundukku padamu, AYAH. Meski diawali dengan tragedi yang memilukan: perpisahan dengan cinta pertamaku.
Kini engkau sama seperti ibu, mulai dirayapi sepi.
Aku merindumu dengan seluruh kebencian dan sakit hatiku.
Terima kasih, AYAH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar