Tak terasa sudah tiga tahun menjadi pelanggan setia Hotel Camar. Ya, sejak aku menginjakkan kaki di Jambi, hotel pertama yang kusinggahi adalah Camar. Saat itu aku diantar oleh mantan pacarku yang dua bulan berikutnya menjadi calon suamiku. Mutar-mutar cari hotel di sekitar Thehok yang lokasinya dekat dengan kantornya (Jambi Independent). Di satu ruas jalan sekitar Thehok hingga simpang dekat Matahari Mall berbagai jenis hotel dari yang elit hingga remang-remang berderet di antara ruko-ruko dan kantor-kantor. Kami menentukan pilihan pada Camar karena harga standar (150-200-an ribu). Tak banyak persyaratan, seperti harus membawa surat nikah dan lainnya, hanya menunjukkan KTP dan langsung dipersilahkan check-in.
Dua bulan setelah merasakan layanan pertama dari Camar, kami merasa ketagihan. Jangan membayangkan pada check-in pertama kami berbuat hal yang dilarang agama karena dua bulan berikutnya kami menikah dan dua hari setelah pernikahan aku langsung diboyong suami. Awal pernikahan kami mengontrak rumah di Muara Bulian (Batang Hari), tak sampai dua bulan pindah ke Sarolangun. Lagi-lagi tak sampai delapan bulan kembali ke Muara Bulian. Kira-kira setahun kemudian kami memutuskan mengambil kredit rumah dari BTN dengan pertimbangan daripada ngontrak terus dan memiliki resiko diusir serta duit habis hanya untuk ngontrak (dalam setahun kira-kira 3 juta, kalau sepuluh tahun ngontrak habis duit 30 juta). Selain itu, kami adalah perantau, jauh dari saudara dan hanya tetangga yang bisa dijadikan saudara. Ada sepasang suami-istri yang sudah kami anggap sebagai orang tua sendiri. Mereka tak punya anak perempuan dan sangat menginginkan anak perempuan, akulah yang diangkat secara tidak langsung. Mereka baik dan keduanya berdarah Padang. Tak pelit dan itu yang aku suka.
Kembali soal hotel. Sejak perkenalan pertama itulah kami selalu menyambangi Camar bila ada keperluan di Jambi. Tak ada saudara dan sesekali kami bertandang di rumah sahabat suamiku, Mas Abid. Jadi selain rumah sahabat itu, Camarlah yang sering kami kunjungi. Camar ini tak miliki banyak kamar, kira-kira tak sampai dua puluh, mungkin lebih, aku tak menghitung benar. Lokasinya tak luas, hanya ukuran tiga sampai empat ruko. Parkir yang tak terlalu luas di bawah bangunan utama.
Sekitar 4 x 5 meter ruangannya untuk ukuran standar dan kelas 2 (lupa namanya, tapi hanya beda ada jendelanya saja). Fasilitas televisi, AC, kamar mandi dengan shower dan toilet duduk, air dingin plus panas, jaringan telepon paralel, lampu tidur, handuk (biasanya dua buah), sabun mandi bulat mungil, lemari yang ada hangernya, meja dan kursi, serta air minum. Single bed atau double bed, boleh juga nambah kasur lagi dengan harga sekitar 40 ribu (sudah lupa karena dulu hanya sekali mesan kasur tambahan waktu mbak dan adek datang dari Kebumen). Sekitar jam 9 pagi, karyawan hotel akan membersihkan kamar. Cukup bersih bukan? Tak semewah hotel berbintang memang, tapi tak seburuk hotel ekonomi. Aku tak tahu ini masuk kategori kelas melati atau bukan. Maunya sih nyicip Abadi Hotel atau Novita Hotel (dulu Novotel) tapi kantong masih tipis. Cukup menyicipi ruang seminar dan lobinya saja dulu, hehehe...
Aku sangat suka jalan-jalan dan suamiku tak terlalu. Dia hanya ikuti hobiku itu saja. Ia tak neko-neko seperti aku dan tak senekat aku. Kurasa ia banyak mengalami petualangan hidup ketika bersamaku. Sebelumnya, aku pikir tak seperti sekarang ini. Terkadang aku kasihan padanya atas tingkahku ini tapi gimana lagi ya, bawaan bayi. Biarlah dia yang menjadi penyeimbangku saat ini. Aku yakin ada saatnya menjadi stabil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar