Minggu, 01 Mei 2011

Kenang-kenangan dari Siswa SMAN 8 Batanghari

Mengajar di SMA Negeri 8 Batanghari sejak 1 Februari 2010 – 30 April 2011 merupakan pengalaman yang sangat berharga. Teramat berharga.
Setelah mengetahui bahwa aku lulus CPNS sebagai guru sejarah SMA pada Januari 2010, kepalaku diisi berbagai bayangan tentang tempat tugasku nanti. Aku sempat survei di beberapa SMA Negeri yang ada di Batanghari. Aku belum tahu pasti akan ditempatkan di mana, jadi aku mau melihat kondisi sekolahku sebelum aku mengajar. SMAN 8 Batanghari salah satunya.

Aku pernah bilang ke suamiku ketika melihat-lihat lingkungan SMAN 8 Batanghari: “Aku mau mengajar di sini. Aku mau cari pengalaman. Aku yakin akan makin tertantang bila mengajar di sini. Biasanya murid-muridnya ‘luar biasa’ dan aku bisa belajar dari mereka.”
Ternyata benar. Aku benar-benar tertantang. Selama tiga semester mengajar murid yang rata-rata orang asli daerah itu, pengalaman sangat berharga aku peroleh. Dan yang paling sangat menyentuh perasaan dan pemikiranku ketika tiga hari terakhir aku berada di sana.
Aku mengucapkan salam perpisahan kepada anak-anak kelas XI IPS 2, XI IPS 1 dan XI IPA 2 (XI IPA 1 tidak sempat karena pada hari terakhir mengajar aku terjebak macet. Sangat disayangkan momen itu terbuang). Aku meminta maaf dan memberi kesan-pesan pada mereka, serta meminta mereka untuk memberikan secuil pesan, kesan dan kritik buatku.
Hasilnya. Hampir 80 % mereka kurang menyukai cara mengajarku yang suka marah-marah.
Ya, kuakui aku sering marah bila anak-anak tak memperhatikanku, bila mereka tak mengerjakan tugasku, bila mereka berperilaku kurang sopan. Bukan marah tanpa alasan. Hari pertama mengajar pun, beberapa kelas kumarahi karena penghargaan dan rasa hormat mereka yang minim. Padahal kesan pertama harus sebaik mungkin, tapi aku gagal melakukan itu. Tapi mereka tak keterlaluan. Tidak seperti murid-murid yang mau mengerjai gurunya. Mereka jauh lebih punya hati. Soal etika dan mulut, ampyuuuuuun....
Tiga semester kulalui dengan uji coba beberapa cara mengajar, mulai dari permainan, banyak tugas, menerangkan, membubuhi sedikit lelucon hingga sampai kasih hukuman denda dan marah-marah. Ternyata setiap kelas memiliki karakter yang berbeda-beda. Dua semester terakhir adalah saat-saat yang berharga buatku. Aku mulai mengenal baik murid dan karakter kelas dengan lebih detail. Berbeda dengan semester dua ketika mereka kelas X, aku masih meraba-raba. Generasi angkatan 2009 ini merupakan satu-satunya generasi yang kuajar secara intens selama tiga semester.
Di XI IPA 1, aku merasa paling jarang marah dan lebih banyak bercerita dan menerangkan. Aku sangat enjoy meskipun beberapa anak memiliki mulut sulit distop bila berbicara. Emosiku sangat terkontrol. Porsi anak pintar dan ‘sedang-sedang’ pun sama. Hal yang paling tidak aku suka ketika mengajar di kelas ini yakni ketika aku harus terlambat (jam mengajar pada jam pertama 07.15-07.55) dan anak sering mengingatkanku untuk segera ‘pergi’ dari kelas. Aku tahu jam mengajarku habis, hanya saja tidak enak rasanya ketika menjelaskan belum selesai sudah dipotong padahal aku hanya minta waktu sedikit.
XI IPA 2, muridnya 90 % perempuan. Di kelas ini aku termasuk jarang marah. Sebenarnya mereka tidak neko-neko, hanya saja malas tugas dan mereka sering memberi muka cuex padaku saat mengajar. Dua deretan anak yang duduk di depan yang hampir setiap aku menjelaskan tenang mendengarkanku. Mereka, Yulia Restini, Desi Mustika Wati, Rita Anggraini, Solikah, Sri Wahyuningsih dan Siti Mukamti. Yang lelaki, Taufik Haryawan dan Triyana Kurniawan pun sering memperhatikan materi yang kuajarkan. Yulia Restini pernah aku beri hadiah buku ‘Negeri 5 Menara’ karya A. Fuadi. Ia anak yang kuat hapalannya.
Kritikan dari kelas XI IPA 1 yang mengena ialah kepunyaan Ovi Ariesta. Katanya: “Ibu terlalu pilih kasih sama murid yang pintar sehingga murid yang merasa kurang itu akan minder, termasuk saya sendiri.”
Ternyata Ovi menilai aku begitu. Ia tak tahu bahwa aku lumayan care dengan dia. Ketika kelas X, ia duduk dengan Yulia. Entah mengapa ia pisah dengannya dan duduk dengan yang lain di kelas XI. Sejak itu ia mulai ‘lasak’. Mungkin ia merasa nilai-nilai yang aku berikan kepadanya kurang banyak. Di kelas inilah aku memberi nilai paling tinggi, sampai-sampai Puti Ayu Handika yang kemampuannya biasa aku beri total nilai tugas harian 98, lebih tinggi dari Yulia Restini dan Risna Pahlevi (dua anak dapat ranking 1 dan 3). Bukan karena Puti kuanggap sebagai anak kesayangan tapi tugasnya kebetulan jawabannya bagus. Aku tak pernah merasa memiliki perasaan lebih pada salah satu murid, hanya saja aku suka murid yang mau mendengarkan dan menghargaiku ketika aku mengajar. Bukan soal materi tapi soal sikap. Itu saja.
Soal pilih kasih. Apa iya aku begitu? Ada beberapa anak yang tak begitu pintar seperti Desi Mustika wati, Rita Anggraini, Evariani, Afriani, dll, tapi mereka aku beri nilai bagus karena sikap mereka yang baik. Itu bonus dari aku, sebagai guru yang punya rasa kemanusiaan.
Aku berusaha seobjektif mungkin dalam menilai tugas dan ulangan siswa, baik yang pintar maupun yang biasa saja. Tak cuma Ovi, Hermalinda juga berfikiran begitu dan di kelas XI IPS 1 ada Andika Setiawan dan Andrianto. Andika salah paham terhadapku. Ia mengira sentimen dengannya karena nilai sejarah tidak tuntas. Aku jelaskan bahwa aku tak pernah punya perasaan membedakan seperti itu. Jikalau ia mengerjakan tugas pasti aku keluarkan nilai. Bahkan aku guru yang termasuk rajin mengingatkan anak untuk menuntaskan nilai (guru yang lain, entahlah... aku menilai kebanyakan mereka cuek dengan nilai anak). Ia nampaknya mengerti dengan penjelasanku. Kalau Andrianto menganggapku tak adil karena menuntaskan Noval padahal ia tak pernah mengerjakan tugas. Hehe... aku cek lagi fileku. Ternyata aku tak pernah menuntaskannya, hanya wali kelasnya saja yang salah tulis. Sebenarnya kalau mereka mau mengecek siapa saja yang nilainya tidak tuntas untuk mata pelajaranku, pasti mereka akan menemukan bahwa tak semua siswa itu bandel, rata-rata dari mereka karena tak mau mengerjakan tugas dan mengurus nilai mereka.
Anak-anak sekarang memang kritis tapi tidak terarah.
Ada juga yang merasa tidak suka aku bilang ‘copy paste’ untuk tugas yang dikerjakannya. Anak itu bernama Sri Wahyuningsih. Mungkin aku salah menilai, tapi saat aku membaca jawaban soal dan tulisannya yang tidak rapi, aku cepat menilai begitu. Tak mungkin jawaban bisa sama persis kalau salah satu pertanyaannya itu tentang pendapat pribadi. Semisal: Bagaimana pendapatmu tentang tindakan pemuda Toha dalam peristiwa pertempuran di kota Bandung? Jelaskan! Tidak mungkin kan setiap katanya sama? Sering kali anak melakukan copy paste dan itu sangat tidak aku sukai. Bila aku membiarkannya sama saja dengan mematikan kreativitas berpikirnya. Mereka tidak tahu apa yang aku maksud dengan tugas-tugas dan nasehat-nasehat yang kuberikan. Lain kali aku harus berhati-hati dalam menilai anak biar mereka tak salah paham.
XI IPS 1. Ini kelas luar biasa yang menguras emosiku. Aku mudah sekali marah ketika mengajar di kelas ini. Menurutku sebagian dari penghuninya sangat tidak menghormati dan menghargai guru. Mereka (terutama yang laki-laki) teramat MPO (Minta Perhatian Orang), malas, kalau aku menerangkan dicuekin, dan paling anti kalau dimarahi. Aku pernah sekali keluar dengan perasaan yang teramat marah dan mereka malah menertawakanku. Itu sangat menyakitkan.
Namun ada juga yang masih mau menghargai dan menghormatiku sebagai guru, seperti Rina Gustina, Supriadi, Bastian Saputra, Surati, Evariani, M. Saibi, Eka Pradijaya, Rika Lindawati, Novitasari, Apriyani, Musyarofah, Nita Anggraini, Yulita, Raudatuljannah, Dwi Malasari. Mereka kategori jarang ngobrol ketika aku menerangkan materi. M. Saibi lebih sering terkantuk-kantuk bila bosan dengan ceramahku. Itu lebih aku sukai dibandingkan mereka yang mengobrol.
Robbin Leonardi Gultom dan Rudiansyah sebenarnya anak yang baik. Mereka tertular virus teman-temannya yang suka ribut. Aku merasa kasihan dengan perkembangan jiwa mereka bila tetap berteman dengan kawan-kawan yang seperti itu. Semoga mereka berdua sadar bahwa itu tak baik buatnya.
Dedi Irawan dan Ona Saputra. Dua anak ini menarik begitu banyak perhatianku dibandingkan yang lain. Dedi selalu saja mondar-mandir bila belajar, begitu pula saat guru lain mengajar (aku sempet bertanya pada kawan-kawan guru). Ia anak yang paling MPO tapi tingkahnya tak membuatku sakit hati atau tersinggung. Ia malah sering aku ceritakan ke suamiku. Lain halnya dengan Ona, ia tak banyak tingkah dan ramah. Bila bersua denganku sering senyum, tapi pernah suatu hari ia melototiku saat aku sedang menasehati tingkah polah anak kelas. Aku tak takut, melainkan tak habis pikir dan sedih dengan sikap dia. Orang bilangin baik-baik kok digituin. Wirawan juga pernah melakukan hal yang sama. Ketika memarahi mereka, hanya suaraku yang tinggi dan kata-kataku tegas-mengena. Aku tak pernah mengumpat, paling kasar aku bilang ‘bengak’ dan ‘lolo’ karena saking geramnya. Balasannya seperti itu??? Hmmm....
Lebih mengejutkan lagi dan tak pernah aku sangka, kritikan Meriyanto. Ia bilang aku mudah merajuk, cepat tersinggung dan kalau NGOCEH lama banget. Ya Allah... guru dibilang ngoceh. Waktu dengar itu aku hanya istighfar dalam hati. Ia anak kedua yang bilang begitu sama aku, sebelumnya Ikke Riyanti (tapi ia hanya bercerita dan aku pun bersikap biasa). Meriyanto tidak tahu bahwa selama ini aku menilai ia anak yang baik dan tidak punya pikiran seperti itu padaku. Selama tiga semester ia selalu aku bantu dengan menaikkan nilai-nilainya. Aku sangat menghargai anak yang bertingkah laku baik pada gurunya. Jadi sebagai balasannya aku selalu memberi nilai plus pada mereka. Aku tak bisa membalas dengan hal lain dan itu sebagai penghargaanku untuk etika mereka yang lebih baik.
Aku tak marah dengan kritikan itu, hanya kecewa dan tak pernah menyangka. Justru malah berterima kasih padanya dengan kritikan itu aku semakin ingin belajar mengajar dengan lebih baik dan selalu instropeksi diri. Segala sesuatu kan datangnya dari diri kita, jadi tak perlu menyalahkan orang lain secara mentah-mentah. Diri kitalah yang seharusnya berinstropeksi diri. Begitulah resiko jadi guru. Harus sabar dan tak akan menyerah ketika air susu dibalas dengan air tuba.
Alhamdulillah... aku pun tak merasa dendam pada sikap mereka. Perasaan inilah yang patut aku syukuri.
Ketika aku mengobrol dengan anak-anak XI IPS 1 tentang guru-guru yang mengajar mereka, penilaiannya cukup memprihatinkan nuraniku. Pak Hamid adalah guru yang paling bagus, yang tak pernah marah dan selalu menuntaskan nilai walaupun tak pernah masuk atau mengerjakan tugas sekalipun. Kata beliau: kasihan bila tidak dituntaskan. Aku malah lebih kasihan jikalau mereka dituntaskan. Bagaimana generasi ini akan maju kalau semua guru seperti itu? Kalau begitu tak perlu ada KKM untuk mengukur kemampuan siswa. Sungguh pemikiran yang... Entahlah, aku tak tahu harus menyebutnya apa.
Guru-guru seperti itulah yang sangat disukai siswa.
Ada yang nyletuk bahwa mereka lebih baik dipukul daripada dinasehati dengan amarah. Aku sangat anti-kekerasan. Semarah apapun aku tak pernah main tangan. Kekerasan sangat membuat trauma manusia. Aku tak mau berbuat seperti itu. Hancur hati ini melihat pola pikir mereka yang aduhai. Aku hanya bisa mengaduh dalam hati atas keprihatinan ini.
Aku sebenarnya juga tidak suka kalau harus emosi terus. Tak ada enaknya memicingkan urat syaraf. Yang ada hanya gemuruh dada yang semakin kencang dan perasaan yang tidak mengenakkan. Hanya saja aku belum sanggup menahan emosi ketika siswa-siswa tak cukup sekali dua kali diperingatkan. Mungkin aku harus lebih bersabar dan menahan diri supaya rasa benci murid pada gurunya tak banyak muncul.
Aku tak menyalahkan mereka yang seperti itu, seharusnya akulah yang instropeksi diri. Tulisan ini hanya untuk menghibur, menyemangati dan mengingatkanku untuk terus maju dalam mendalami dunia pendidikan. Aku harus lebih dewasa lagi dalam menghadapi murid-muridku.
XI IPS 2. Ini kelasku. Aku jadi wali kelasnya. Mereka berjumlah 41 anak. Cukup sering juga aku memarahi mereka tapi tak sesering XI IPS 1. Anaknya jauh lebih baik. Ribut tapi sikapnya tidak keterlaluan. Yang bermasalah pun lebih memilih kabur daripada berdiam di kelas. Aku sangat memperhatikan kelasku ini. Terkadang aku jadi tukang kredit untuk meminta iuran kas yang sering nunggak. Mereka nampaknya juga enjoy dengaku walaupun aku sering marah dan ngoceh (kata salah satu dari mereka).
Pada penerimaan rapor semester pertama, aku memberi hadiah bagi anak-anak yang berprestasi dan yang memiliki peningkatan dalam hal-hal khusus. Juara 1,2 dan 3 (Timiyati, Renol listriawan dan Ikke Riyanti); Amin Farid yang tulisannya rapi dan sering masuk di jam mengajarku; Sayma Barutu yang selalu rajin bersih-bersih; Imam Gusnadi yang memiliki peningkatan signifikan pada nilai rapornya (pernah tidak naik kelas); Siti Zuariah yang mendapat nilai ujian semester sejarah tertinggi.
Di hari Kamis lalu, aku dan mereka merayakan perpisahan kelas dengan memberikan kue buat mereka. Renol bilang, hanya aku wali kelas yang membagikan kue ketika perpisahan (mungkin selama ia bersekolah belum pernah ada wali kelas yang seperti itu). Aku memberikan kotak tersendiri untuk Maslikan, Supriadi, Junaida, Nurul Hasanah, Indah Permatasari, Ani Marlian (perangkat kelas); serta Siti Zuariah yang sering aku sms untuk menyampaikan pesan-pesanku buat anak-anak kelas dan Sakila yang sering aku tegur, kemudian menunjukkan perubahan.
Elisa sebenarnya hendak aku beri kotak khusus berisi kue, tapi ia sakit dan tak masuk sekolah. Ia pernah menangis karena sering aku tegur. Siswa pertama yang menangis karena aku. Ia tak pintar dan malas. Teramat malas. Di akhir perpisahan aku dan sebelas anak kelasku menjenguknya. Nampaknya ia tak marah lagi padaku. Syukurlah....
Inilah secuil kisah seorang guru muda yang baru berumur 27 tahun. Dengan idealismenya ia ingin mendidik diri dan siswa-siswanya untuk lebih baik lagi. Aku resah dengan dunia pendidikan ini dan aku baru mampu melakukan hal kecil mulai dari diriku sendiri dan siswa-siswaku. Semoga ada secercah harapan untuk pendidikan di negeri ini.
29 April 2011

Tidak ada komentar: