Minggu, 22 Mei 2011

Tiga Sajak yang Menari di Kepala

HATIKU makin tak menentu ketika kudapati diriku memasuki menit-menit sebuah upacara sakral. Pernikahanku. Tiba-tiba aku sudah terduduk di depan kaca, tak mampu hentikan jemari perias pengantin yang dengan leluasa mengoleskan bubuk halus warna-warni di wajahku yang pias. Ingin rasanya aku menghipnotis perias berwajah wanita dengan tubuh pria itu.
Oh, sungguh aku setengah-setengah menginginkan ini terjadi pada diriku. Tak pernah kusangka aku akan menghadapi resepsi yang kurencanakan namun tak kukehendaki. Aku merencanakan pernikahan itu bersama pengantin pria yang akan bersanding denganku. Namun, aku menghendaki pengantin itu kekasihku yang memujaku seumur hidupnya, bukan pria itu.

Aku ingin menghentikan pernikahan setengah-setengah ini. Ya, akan kuhentikan ketika Kebo Giro itu mulai didengungkan. Sejenak kepalaku sedikit ringan. Simaklah, aku akan memulai rencanaku.

Neng nong neng gung…! Lantunan Kebo Giro mengalir memenuhi sekujur tubuh ruangan berhias kain putih yang melambai-lambai tertiup bayu. Pranotocoro bersiap memonyongkan bibir tuk permulaan resepsi agung. Terus, hingga penghujung kata mulai mengiringi laju dua mempelai, tuk persilahkan bersanding dalam singgasana. Tak satu pun mempelai nampak bertaut mesra, apalagi bergamit jemari, hingga ribuan kata terucap, nama pun tersingkap. Lembu….! Sari….! Tak ada sahut di balik kerumunan tamu, tak ada muka di balik pintu. Semua terpaku, mencukur malu. Kebo Giro pun ikut terpaku, sejenak tercekat oleh laku jari sang pelaku yang menekan tombol, STOP!
***
Rupanya rencana Kebo Giroku tak semulus rangkaian kata dalam sajak yang telah tersusun di kepalaku. Sia-sia saja aku merangkainya menjadi bait-bait strategiku untuk kabur dari pernikahan berbalut kain putih itu. Sungguh aku tak kuasa menahan tangis ketika bersanding di depan penghulu. Tangis derita, bukan bahagia.
Aku terus tergugu hingga ijab-qabul selesai terlontar dari pengantin pria dan ayahku. Ada bisik di sela-sela bibir para tamu undangan yang mulai meramaikan bangunan tarub yang ditegakkan sejak tujuh hari yang lalu. Samar-samar mereka mengucapkan penilaian tentang ekspresi kesedihanku layaknya kebahagiaan pengantin-pengantin perempuan dengan pernikahan mereka. Terlalu!
Kuhentikan tangisku ketika tubuhku bersanding di kursi pelaminan untuk dipertontonkan pada undangan. Di kala Kebo Giro terdiam. Lalu kucari sosok kekasih yang selalu kurindukan. Berharap datang demi melihat diriku yang kesakitan. Kulantunkan Nyanyi Rindu untuknya, meski mataku tak menemukan tubuh yang sangat kukenali aromanya. Dengarkanlah, aku akan melantunkan sajak dengan rima tak beraturan ini.

Membagi rindu
Kue rindu kubagi-bagi
Sepertiga pertama untuk jinggaku
Sepertiga kedua untuk hitamku
Sepertiga terakhir untuk putihku

Perselingkuhan rindu
Di balik rinduku pada siang
Terselip rindu untuk malam
Ketika ku memeluk siang
Jemariku bertaut pada malam

Perceraian rindu
Meliuk-liuk rindu merengkuh malunya
Menjamah harap nan huru-hara
Menuju gerbang mahkamah
Memecah duri membagi tai
Sekejap rindu koyak bak hidup tergilas waktu

Nyanyian rindu
Membagi, berselingkuh lalu bercerai dengan rindu
Membentuk lirik tuk melantunkan lagu
Mengeja nyanyi nan merdu, pilu dan rindu
Menyayat bait yang terkait sembilu
Muntahkan senyum dengan menahan perihnya rindu
Hantarkan nyanyian hingga rindu membeku,
terbujur kaku.

Berulang kali kuucapkan bait-bait kerinduan itu. Seperti seorang pawang hujan yang komat-kamit merapal mantra, berusaha menggusur hujan ketika gelaran macam pernikahan akan berlangsung. Aku melafalkannya dengan getar bibir yang tak kunjung diam. Ingatanku terus merangkai gerakan-gerakan sajak yang sedari tadi menari-nari di kepalaku. Bukan mengingat siapa saja tamu undangan yang hadir.
Hingga resepsi ini berakhir, aku terus mengucapkannya. Sajak itu menjadi mantra pengikat hatiku. Supaya tak lari dari jeratan cinta kekasih pujaanku. Meninggalkan hatinya yang telah membiru, setelah tubuhnya kuterlantarkan demi pernikahan ini.
Sajak itu menjelma bagai doa-doa yang kuharapkan terkabul ketika kerinduan mulai membuncah dan terpisah dari pria yang mulai detik ini telah menjadi suamiku. Baris-barisnya tercipta sebagai sumpah serapah yang akan menghantarkaku pada malam pertama yang terkutuk. Sumpah mati aku akan jadikan malam itu tak akan terlupakan oleh pria yang berani menyematkan cicin di jari manisku.
Lihatlah, sajak Kutukan Sang Perawan mulai mengecambah di selaput-selaput dalam otakku. Ketika sungkeman telah usai, gambar sudah terekam dalam kamera digital si pemotret, uluran tangan ucapan selamat menempuh hidup baru sekaligus selamat tinggal terjabat, hingga laku tetamu perlahan-lahan menjauh.
***
Suasana menjadi sepi, hanya keluarga yang bercengkrama. Sesekali terdengar keributan sapu lidi yang terseok-seok membersihkan sampah yang teronggok di sela-sela kursi tamu. Lamat-lamat juga terdengar piring, gelas, sendok dan garpu beradu ketika dibersihkan si tukang cuci sewaan.
Aku membisu. Bibirku tak mampu lagi ucapkan sepatah kata pun semenjak kuucapkan kata: sampai jumpa lagi kekasihku, tunggulah aku di pelaminan!
Tubuhku digiring ke peraduan oleh ayahku. Sejak pertemuan terakhirku dengan kekasih yang kuhendaki jadi pendampingku, ragaku tak lagi mampu melangkah dengan sempurna. Limbung. Bagai pemabuk yang menenggak puluhan gelas berisi minuman yang bikin kepayang. Aku tak pernah bisa berpisah dari kekasihku barang sekejap.
Sampailah aku pada peraduan. Kucengkram tangan ayah kuat-kuat agar tak meninggalkanku berdua saja dengan pria yang telah menjadi suamiku. Tapi ayah menepisnya dengan tenaga dua kali lipat dari yang kumiliki. Aku tak kuasa.
Dengan lembut suamiku membelai rambut kepalaku. Kurasakan bagai api sumbu kompor yang pernah mampir di telapak tanganku semasa kanak-kanak. Hatiku meronta, menolak malam yang selalu didamba setiap mempelai. Karenanya kusematkan Kutukan Sang Perawan pada labirin yang dapat memuncratkan noda merah di peraduan, ketika benda mirip tumbuhan jamur menembusnya.

Kelambu itu tak mampu membuka beku hatinya, menemani bujang yang berbaring di hadapnya. Tak ada bercak merah laiknya malam persembahan labirin keperawanan, juga malam-malam berikutnya. Yang ada hanya kutuk-merutuk di ujung waktu yang menghantarkan sang perawan pada hitam hatinya, hingga pekat tak lagi berani menjamah.
Titian masa, seperempat dari kebersamaan, sang perawan pun melaju bersama ragu sembari menangisi garis takdir yang tersemat dalam selaput yang dipujanya.
***
Benar, malam pertama terkutuk itu tak menghasilkan sebercak darah pun. Suamiku sedikit pun tak menjamahku. Dia hanya membuka gaun pengantin yang membalut tubuhku, kemudian menggantinya dengan baju tidur yang telah tersedia di ranjang putih tempat kami beradu muka. Lalu ia berkisah tentang seorang putri dan tanaman ajaib. Kisah itu terus bersambung hingga malam-malam berikutnya tanpa menyisakan sebuah hubungan persenggamaan. Hanya ada dengkuran kecil miliknya, tanda betapa hari telah membuatnya lelah. Aku merasa lega, kutukan itu ternyata ampuh.
***
Suatu malam, pria berkulit gelap itu berkata: Hari ini libur, besok malam aku akan mengakhiri ceritaku. Kau akan terbebas dariku. Terimakasih telah mendengar ceritaku. Terbersit dalam hatiku, iya aku akan menunggu akhir cerita itu. Pertanda bahwa aku akan segera bertemu dengan kekasihku. Hari itu akan kunantikan.
Malam yang dijanjikan tiba, namun pria itu tak kunjung hadir dalam peraduan, seperti malam-malam sebelumnya. Dia ingkar janji. Di sisi lain ada segurat senyum yang mampir di dua bibirku yang mengatup.
Begitu pula malam-malam berikutnya, pria yang dulu kusebut sahabat sejati kekasihku itu tak juga menampakkan raut wajahnya yang penuh senyum itu. Kuketahui belakangan, ia tergeletak di sebuah kamar bercat biru yang penuh dengan alat-alat pemompa sisa hidupnya. Kanker otak telah membuatnya tak mampu mengakhiri cerita seorang putri dan tanaman ajaib itu padaku. Ada setitik iba di hatiku, meski ia telah menghancurkan masa depanku dengan menjadi pendamping hidupku. Ia mati dengan meninggalkan kata maaf di akhir nafasnya. Aku hanya terpaku. Entahlah, apakah aku bisa memaafkannya.
Kuhantarkan tubuh pria yang telah menemaniku lebih dari seratus malam itu ke peraduannya yang terakhir. Tak ada air mata yang mengalir di sudut mataku. Yang ada hanya senyum menyongsong pertemuan dengan kekasihku. Pertemuan yang telah kujanjikan padanya.
***
Usai pemakaman, aku langsung menuju rumah mungil yang terletak di ujung jalan yang sedang kulewati. Kutemukan ibu kekasihku menyambut dengan raut wajah sedikit terkejut. Aku bertanya padanya di mana gerangan kekasihku. Wanita itu terdiam sejenak dan menghembuskan nafas dalam-dalam. Apa nak Sari ndak tahu kalau Bagas sudah meninggal. Bagas kecelakaan seminggu sebelum perayaan pernikahan. Nak Lembu ndak cerita ya…
Aku mematung. Bumi terasa bergetar. Pandanganku mulai mengelabu, kian gelap. Kristal-kristal bening mulai berjatuhan. Sajak-sajak kematian telah menggelayut di kepala, menggantikan tiga sajak yang sedari persandingan menari-nari di kepalaku. []
Sarolangun, 18 Februari 2009

Cerpen ini dimuat di Kompas, 31 Mei 2009

Tidak ada komentar: