PIT akhirnya temukan senja itu di ujung kota yang baru saja disinggahinya. Senja yang selalu hadir di hari-hari sebelum keberangkatannya untuk berpetualang. Senja merah. Lukisan langit yang berbalut warna kelam. Goresan cahaya sang surya yang hanya terlukiskan pada langit penyongsong malam. Sebelum tirai malam menutupi kota. Di kala ribuan burung layang-layang mulai mengepakkan sayapnya menggapai tiang-tiang listrik, tempat peristirahatan mereka. Senja itu seperti semburat kapas merah yang menghiasi sang surya yang berangsur tengelam di penghujung hari.
Pit menemukan senja itu di sebuah taman yang kemudian hari ramai pengunjung sejak matahari perlahan-lahan menuju barat hingga hilang ditelan malam. Tak ada sesosok manusia pun ketika ia menemukan tempat itu. Tepat ketika kuli-kuli bangunan yang rehat sejenak sebelum memberi sentuhan akhir atas karya mereka. Hanya Pit seorang yang menunggui senja merah itu. Dialah satu-satunya manusia yang memijakkan kakinya pada bangunan yang diapit dua jembatan gagah penghubung jalan menuju pusat kota.
Detik di mana taman itu ditemukan, Pit tak lagi kuasa menahan limbung tubuhnya. Sepasang kaki milik Pit yang jadi tumpuan raganya tak lagi mampu melangkah barang setapak. Lepuhan di kulit kaki yang telah mengelupas pun tak tertahankan lagi perihnya. Pit telah berjalan puluhan kilo untuk sebuah senja.
Terpaksa Pit menyandarkan punggungnya pada tiang lampu kota yang baru selesai dicat. Memandang nanar ke arah aliran sungai berarus tenang, beberapa meter dari sudut matanya. Penglihatannya mengikuti putaran-putaran halus air yang tak terlihat ganas namun mematikan bagi siapa saja yang tak mahir berenang. Ternyata itu membuat matanya berkunang-kunang hingga menambah lunglai raganya yang hanya berbalut kulit hitam kusam.
Lalu Pit mengalihkan bola mata coklatnya ke sudut kanan. Samar-samar ia mengamati cahaya yang selama ini menjadi tujuannya berkelana. Cahaya merah saga. Kapas penghias langit di kala senja. Waktu di mana matahari berada pada enam derajat di bawah cakrawala. Di saat benda tak lagi bisa dibedakan. Bintang-gemintang mulai nampak oleh mata telanjang. Senja merah yang pertama kali dilihatnya selama enam bulan petualangan.
Semenjak berpetualang mencari senja, Pit tak pernah mampu melihat senja merah yang melahirkan gugusan mega di sela-sela cakrawala –senja seperti yang ada di taman itu. Kota-kota yang telah dilewatinya tak sanggup menyuguhkan senja merah yang selalu dirindukannya. Kota-kota itu hanya menyibukkannya pada hal sepele yang memaksanya untuk lekas hengkang. Dirinya terdampar di taman itu juga karena hal remeh yang dialaminya. Pit diburu tiga anjing liar!
Awalnya, Pit memaki-maki salah satu anjing kudisan itu dengan makian khasnya:
“Pantek! Pergi kau dari sini!”
Rupanya anjing itu membalas makian Pit dengan lebih galak.
“Guk…guk guk…guk guk!”
Anjing itu telah merebut daging yang ia peroleh dari seorang penjual nasi di pasar. Pak Abbas namanya. Bapak itu teramat baik pada Pit yang telah menjadi gelandangan selama masa petualangan. Hampir tiap senja, Pak Abbas menyisakan sebungkus nasi buat pengganjal perutnya. Nasi Pak Abbas terasa enak di perut Pit meski terkadang berair karena lama tak tersentuh hangatnya api kompor. Pit merasa nyaman berada di kota itu selama ada Pak Abbas. Lelaki tua itu sahabat satu-satunya di kota persinggahan kelimanya.
“Pantek!”
Lagi-lagi Pit mengumpat. Perempuan muda itu kian geram ketika anjing di hadapannya berhasil menggondol daging ayam yang baru separuh dimakannya. Melayanglah kaki Pit menghantam perut si anjing hingga daging terlepas dari cengkeraman gigi binatang penjulur lidah itu. Belum sempat Pit mengambil daging yang terpelanting setengah meter dari tubuhnya itu, muncul dua kawan anjing yang baru saja jadi sasaran tendangannya.
Pit tak gentar. Daging yang telah diselimuti tanah pasar itu diraihnya. Alangkah sial, ketika daging itu sampai pada genggaman, tangannya dicengkeram dua mulut anjing yang baru saja datang. Pit estafet daging itu ke tangan satunya. Tapi sebelum daging itu sampai pada tujuannya: “Aauw!”
Pit menjerit dan daging terpelanting lagi. Kakinya digigit anjing yang kena tendangannya tadi. Gigitan tiga mulut binatang kaki empat itu kian tajam ketika Pit berusaha meraih daging itu. Darah segar mulai mengucur di sela-sela pergelangan tangannya.
Pit tak kuasa lagi menahan tiga gigitan itu. Ia tak lagi hiraukan sepotong daging ayam yang seharusnya menjadi lauk makan sore. Diraihnya tiang telepon yang tertancap kokoh di samping tubuhnya. Ia berusaha melepaskan diri dari gigitan berdarah itu. Berkali-kali ia menjerit dan sesekali ucapkan kata-kata permintaan bantuan, namun tak ada yang menggubrisnya.
Sore itu pasar lengang pedagang. Hanya segelintir orang yang melintasinya. Mereka memilih tak hiraukan teriakan Pit. Teriakan manusia yang berbuat konyol: berebut daging dengan anjing.
Keluarlah makian khas Pit untuk orang-orang yang tak berperasaan itu sembari terus berusaha melepaskan diri. “Pantek!”
Rupanya teriakan dengan iringan emosi itu mampu melepaskan bagian tubuh Pit dari cengkeraman tiga mulut penuh liur itu. Tanpa pikir panjang, Pit mengambil langkah seribu. Sialnya, ketiga anjing itu memburunya hingga pintu gerbang pasar. Ia tak berani masuk lagi. Lebih memilih melanjutkan perjalanannya menemukan senja. Ia juga merasa sudah cukup lama singgah di kota kelima dan segera menuju kota selanjutnya. Kota pemilik taman dengan senja merah itulah yang menjadi tempat persinggahan berikutnya.
Hampir tiap sore Pit menyambangi taman yang mulai ramai setelah pembangunannya benar-benar selesai itu. Kini taman itu tak lagi sepi. Pedagang kaki lima mulai melirik taman itu sebagai ladang persemayaman gerobaknya guna mengais rezeki. Berturut-turut gerobak es tebu, bakso, sate padang, jagung bakar, soto hingga kelontong mulai parkir di sepanjang taman menjelang senja tiba. Deretan gerobak itu kemudian menarik minat warga kota yang sengaja atau hanya lewat melintasi taman itu untuk mampir. Mencicipi layanan gerobak atau sekedar menikmati senja.
Keramaian yang muncul tiba-tiba itu tak membuat Pit terganggu. Ia tetap khusuk menikmati senja merah pada tiap-tiap penghujung hari. Riuhnya suara dari mulut orang-orang yang mulai berkerumun tak mampu mengusik syahdu hatinya atas pesona senja merah. Tak pernah sedikitpun ia beranjak dari tempatnya berdiam. Tiang lampu tempatnya berdiam adalah sudut terindah untuk menikmati senja merah. Suatu waktu, ada pengunjung yang mengetahui titik itu. Pit mulai terusik.
“Pergi dari sini, kagek kutendang pantat kau!”
Pit tetap tak bergeming. Matanya terus menerawang senja merah yang muncul di penghujung Juli. Senja terindah yang dilihatnya selama menjadi pelanggan setia taman itu.
Kalimat mengusir yang keluar dari bibir lelaki ceking itu tak digubrisnya. Pit sedang sibuk dengan memori-memori yang sedang terlintas di kepalanya. Angannya kembali pada masa-masa indah bersama ayah, ibu dan kedua adiknya. Saat-saat terakhir menikmati senja bersama keluarga kecilnya. Saat sebelum nyawa keempat kerabat terdekatnya itu terenggut oleh rampok yang menggelandang rumahnya. Karenanya, ia putuskan tuk mengelana demi senja.
“Heheheh…. Elok nian yo bang.” Pit membalasnya dengan tawa kecil.
“Taek!” umpat lelaki ceking itu.
Rupanya lelaki itu enggan meneruskan usaha pengusirannya, menguasai tiang lampu favorit Pit. Lelaki itu memilih berbalik arah mencari tempat bersandar lain daripada berebut dengan orang yang telah hilang kewarasannya macam Pit.
“Heheheh…hahahah…!” Pit tertawa tanpa hiraukan kemenangannya. Matanya kembali menyeruak senja merah yang sedari tadi menjadi santapannya. Senja yang sama. Penghantar tawa yang tak pernah terhapus dari bibirnya. []
Sarolangun, 13 Februari 2009
Cerpen ini dimuat di www.poetikaonline.com
Pit menemukan senja itu di sebuah taman yang kemudian hari ramai pengunjung sejak matahari perlahan-lahan menuju barat hingga hilang ditelan malam. Tak ada sesosok manusia pun ketika ia menemukan tempat itu. Tepat ketika kuli-kuli bangunan yang rehat sejenak sebelum memberi sentuhan akhir atas karya mereka. Hanya Pit seorang yang menunggui senja merah itu. Dialah satu-satunya manusia yang memijakkan kakinya pada bangunan yang diapit dua jembatan gagah penghubung jalan menuju pusat kota.
Detik di mana taman itu ditemukan, Pit tak lagi kuasa menahan limbung tubuhnya. Sepasang kaki milik Pit yang jadi tumpuan raganya tak lagi mampu melangkah barang setapak. Lepuhan di kulit kaki yang telah mengelupas pun tak tertahankan lagi perihnya. Pit telah berjalan puluhan kilo untuk sebuah senja.
Terpaksa Pit menyandarkan punggungnya pada tiang lampu kota yang baru selesai dicat. Memandang nanar ke arah aliran sungai berarus tenang, beberapa meter dari sudut matanya. Penglihatannya mengikuti putaran-putaran halus air yang tak terlihat ganas namun mematikan bagi siapa saja yang tak mahir berenang. Ternyata itu membuat matanya berkunang-kunang hingga menambah lunglai raganya yang hanya berbalut kulit hitam kusam.
Lalu Pit mengalihkan bola mata coklatnya ke sudut kanan. Samar-samar ia mengamati cahaya yang selama ini menjadi tujuannya berkelana. Cahaya merah saga. Kapas penghias langit di kala senja. Waktu di mana matahari berada pada enam derajat di bawah cakrawala. Di saat benda tak lagi bisa dibedakan. Bintang-gemintang mulai nampak oleh mata telanjang. Senja merah yang pertama kali dilihatnya selama enam bulan petualangan.
Semenjak berpetualang mencari senja, Pit tak pernah mampu melihat senja merah yang melahirkan gugusan mega di sela-sela cakrawala –senja seperti yang ada di taman itu. Kota-kota yang telah dilewatinya tak sanggup menyuguhkan senja merah yang selalu dirindukannya. Kota-kota itu hanya menyibukkannya pada hal sepele yang memaksanya untuk lekas hengkang. Dirinya terdampar di taman itu juga karena hal remeh yang dialaminya. Pit diburu tiga anjing liar!
Awalnya, Pit memaki-maki salah satu anjing kudisan itu dengan makian khasnya:
“Pantek! Pergi kau dari sini!”
Rupanya anjing itu membalas makian Pit dengan lebih galak.
“Guk…guk guk…guk guk!”
Anjing itu telah merebut daging yang ia peroleh dari seorang penjual nasi di pasar. Pak Abbas namanya. Bapak itu teramat baik pada Pit yang telah menjadi gelandangan selama masa petualangan. Hampir tiap senja, Pak Abbas menyisakan sebungkus nasi buat pengganjal perutnya. Nasi Pak Abbas terasa enak di perut Pit meski terkadang berair karena lama tak tersentuh hangatnya api kompor. Pit merasa nyaman berada di kota itu selama ada Pak Abbas. Lelaki tua itu sahabat satu-satunya di kota persinggahan kelimanya.
“Pantek!”
Lagi-lagi Pit mengumpat. Perempuan muda itu kian geram ketika anjing di hadapannya berhasil menggondol daging ayam yang baru separuh dimakannya. Melayanglah kaki Pit menghantam perut si anjing hingga daging terlepas dari cengkeraman gigi binatang penjulur lidah itu. Belum sempat Pit mengambil daging yang terpelanting setengah meter dari tubuhnya itu, muncul dua kawan anjing yang baru saja jadi sasaran tendangannya.
Pit tak gentar. Daging yang telah diselimuti tanah pasar itu diraihnya. Alangkah sial, ketika daging itu sampai pada genggaman, tangannya dicengkeram dua mulut anjing yang baru saja datang. Pit estafet daging itu ke tangan satunya. Tapi sebelum daging itu sampai pada tujuannya: “Aauw!”
Pit menjerit dan daging terpelanting lagi. Kakinya digigit anjing yang kena tendangannya tadi. Gigitan tiga mulut binatang kaki empat itu kian tajam ketika Pit berusaha meraih daging itu. Darah segar mulai mengucur di sela-sela pergelangan tangannya.
Pit tak kuasa lagi menahan tiga gigitan itu. Ia tak lagi hiraukan sepotong daging ayam yang seharusnya menjadi lauk makan sore. Diraihnya tiang telepon yang tertancap kokoh di samping tubuhnya. Ia berusaha melepaskan diri dari gigitan berdarah itu. Berkali-kali ia menjerit dan sesekali ucapkan kata-kata permintaan bantuan, namun tak ada yang menggubrisnya.
Sore itu pasar lengang pedagang. Hanya segelintir orang yang melintasinya. Mereka memilih tak hiraukan teriakan Pit. Teriakan manusia yang berbuat konyol: berebut daging dengan anjing.
Keluarlah makian khas Pit untuk orang-orang yang tak berperasaan itu sembari terus berusaha melepaskan diri. “Pantek!”
Rupanya teriakan dengan iringan emosi itu mampu melepaskan bagian tubuh Pit dari cengkeraman tiga mulut penuh liur itu. Tanpa pikir panjang, Pit mengambil langkah seribu. Sialnya, ketiga anjing itu memburunya hingga pintu gerbang pasar. Ia tak berani masuk lagi. Lebih memilih melanjutkan perjalanannya menemukan senja. Ia juga merasa sudah cukup lama singgah di kota kelima dan segera menuju kota selanjutnya. Kota pemilik taman dengan senja merah itulah yang menjadi tempat persinggahan berikutnya.
Hampir tiap sore Pit menyambangi taman yang mulai ramai setelah pembangunannya benar-benar selesai itu. Kini taman itu tak lagi sepi. Pedagang kaki lima mulai melirik taman itu sebagai ladang persemayaman gerobaknya guna mengais rezeki. Berturut-turut gerobak es tebu, bakso, sate padang, jagung bakar, soto hingga kelontong mulai parkir di sepanjang taman menjelang senja tiba. Deretan gerobak itu kemudian menarik minat warga kota yang sengaja atau hanya lewat melintasi taman itu untuk mampir. Mencicipi layanan gerobak atau sekedar menikmati senja.
Keramaian yang muncul tiba-tiba itu tak membuat Pit terganggu. Ia tetap khusuk menikmati senja merah pada tiap-tiap penghujung hari. Riuhnya suara dari mulut orang-orang yang mulai berkerumun tak mampu mengusik syahdu hatinya atas pesona senja merah. Tak pernah sedikitpun ia beranjak dari tempatnya berdiam. Tiang lampu tempatnya berdiam adalah sudut terindah untuk menikmati senja merah. Suatu waktu, ada pengunjung yang mengetahui titik itu. Pit mulai terusik.
“Pergi dari sini, kagek kutendang pantat kau!”
Pit tetap tak bergeming. Matanya terus menerawang senja merah yang muncul di penghujung Juli. Senja terindah yang dilihatnya selama menjadi pelanggan setia taman itu.
Kalimat mengusir yang keluar dari bibir lelaki ceking itu tak digubrisnya. Pit sedang sibuk dengan memori-memori yang sedang terlintas di kepalanya. Angannya kembali pada masa-masa indah bersama ayah, ibu dan kedua adiknya. Saat-saat terakhir menikmati senja bersama keluarga kecilnya. Saat sebelum nyawa keempat kerabat terdekatnya itu terenggut oleh rampok yang menggelandang rumahnya. Karenanya, ia putuskan tuk mengelana demi senja.
“Heheheh…. Elok nian yo bang.” Pit membalasnya dengan tawa kecil.
“Taek!” umpat lelaki ceking itu.
Rupanya lelaki itu enggan meneruskan usaha pengusirannya, menguasai tiang lampu favorit Pit. Lelaki itu memilih berbalik arah mencari tempat bersandar lain daripada berebut dengan orang yang telah hilang kewarasannya macam Pit.
“Heheheh…hahahah…!” Pit tertawa tanpa hiraukan kemenangannya. Matanya kembali menyeruak senja merah yang sedari tadi menjadi santapannya. Senja yang sama. Penghantar tawa yang tak pernah terhapus dari bibirnya. []
Sarolangun, 13 Februari 2009
Cerpen ini dimuat di www.poetikaonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar