Kamis, 17 Maret 2011

Dari Emosi Hingga Menulis


At Mokko Factory (11 Maret 2010). Sebuah tempat nongkrong di Jambi Prima Mall. Sebelumnya adalah toko penyedia es teller 88, mungkin bangkrut kemudian diganti dengan Mokko Factory. Tempatnya sedikit menyenangkan meskipun tertulis dalam dinding free Wi Fi, tapi ternyata pakai pasword (akhirnya dapat juga, paswordnya mokko2011 tapi tetap tidak bisa, internet murahan atau laptopku settingannya tak bagus). Harga menunya lumayan mahal. Ice cappucino dan hot cafe late saja Rp. 33.000,-.


Cukup mengobati hati yang sempat tersiram bara panas atas kejadian hari itu.

Ya... hari itu aku muangkel habis. Pagi-pagi harus terlambat karena melayani saudara Pak Ncu yang datang dari Dusun Tuo (Keluarga Jun). Mereka bilanngnya Jumat sore datang ke rumah, ternyata Kamis sore muncul. Tak tersedia bahan makan yang cukup untuk sarapan, terpaksa selepas subuh ke warung terdekat. Banyak waktu yang terpakai untuk ke warung dan memasak. Pasrah dengan waktu.

Sekitar jam sembilan aku sampai di sekolah. Lagi-lagi telah menyiakan satu jam pelajaran yang selalu terpotong yasinan. Rasanya seperti mengkhianati seseorang, tepatnya murid-muridku dan negara. Namun apa daya, aku hanya manusia. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik, namun... lagi-lagi ketidaksempurnaan dan ketidaktepatan. Sepertinya aku harus mati-matian untuk mengatasi problem harian ini, sebab aku sedikit stres dengan permasalahan ini. Mungkin kalau tak ada teguran dari bos dan ‘sindiran’ halus dari kawan, aku tak terlalu memikirkannya. Intinya: no ‘maklum’ for late.

Sesudah sampai di ruang guru, kegondokan hatiku makin bertambah. Entah dimulai dari mana, Bu Rini ngobrol denganku soal jabatan baruku sebagai ‘kurir’ kepala sekolah. Hampir setiap minggu aku dititipi tugas, padahal ada wakil kepala sekolah bagian Humas yang lebih bertanggung jawab soal ini. Pimpinanku sepertinya tak sanggup menggerakkan orang yang diberi amanah itu.

Sempat sekitar lima belas menit curhat soal perlakuan yang kurang menyenangkan itu. Bu Rini menilaiku tak sanggup melawan si Bos dan tak habis pikir aku berdiam diri saja, begitu katanya. Degup jantungku mulai berirama tinggi oleh kata-kata bu Rini yang makin menyemangatiku untuk ‘melawan’ si Bos. Kampret! Dalam hati aku mengumpat. Mulutnya serasa kompor yang menyulut panas hatiku.

“Kalau aku Put, melawan bos tu dengan sikapku. Nggak pernah telat dan selalu mengerjakan tugas dengan baik. Jadi nggak punya celah.”

“Aku susah bu. Tiap hari aku bangun jam lima pagi, masak dan sedikit membersihkan rumah. Sekarang aku bangun jam empat atau jam setengah lima, baru nggak terlambat. Aku sudah berusaha.”

“Memang kalau masih bergantung kayak kamu tu susah. Kalo ibu kan pergi ke mana-mana pakai motor dhewek, jadi bisa tepat waktu.”

Badanku sempat bergetar dan mataku sedikit berair. Aku berusaha menahan cairan bening itu dari mataku. Aku tak ingin terlihat lemah.

Bukannya aku tak mau ‘melawan’. Aku mengalami dilema dengan emosi dan kondisi teman seperjalananku: Bu Yet. Aku takut emosiku meletup saat mengadu ihwal masalah itu pada pimpinanku sehingga dia tersinggung. Bila tak ada aku, Bu Yet yang jadi sasaran mereka (tak hanya kepala sekolah yang jadi bos, ada pihak-pihak lain yang berperilaku layaknya bos, muak rasanya). Bu Yet menurutku terlalu penakut, padahal tubuhnya sakit-sakitan begitu, harusnya dia bisa ‘melawan’. Pertimbangannya, dia membutuhkan bapak kepsek, takutnya nanti dihambat urusannya.

Aku tak tega membiarkan perempuan kurus karena penyakit rahim yang dideritanya itu harus mengantarkan surat-surat ke kantor dinas P&K atau kantor dinas lainnya. Kantor-kantor dinas itu kira-kira hanya setengah sampai satu kilo dari rumahku, sedangkandari rumahnya kira-kira 3 kilometer dari kantor dinas itu. Ia pun tak rela kalau suatu saat aku pindah sekolah ke Muarabulian. “Nggak ada kawan,” katanya (Ya, kawan suka-duka yang setiap hari berurusan dengan jalan buruk, macet, kelangkaan angkutan, keterlambatan dan profesi ‘kurir’, gumam hatiku saat ia berkata seperti itu). Perasaan ibaku itu sering meluluhkan keinginan untuk ‘melawan’.

Aku sempat bercerita tentang background keluargaku pada Bu Rini (beberapa menit setelah percakapan itu, aku merasa menyesal membuka ‘rahasia’ itu). Emosi yang tertahan dan ketika meledak hanya akan menyakitiku. Kata-kata itu yang keluar dari bibirku guna menggambarkan emosi spesial yang dimiliki keluarga kami. Memang, ketika aku marah, dada ini terasa bergemuruh. Degup jantungku tak terkontrol. Bila meledak, semua kata-kata menyakitkan (bukan kata-kata kotor, jarang sekali aku misuh) akan keluar dari mulutku pada si korban yang ada di hadapanku. Dan setelah itu, aku kesakitan. Penyesalan melandaku. Aku menyadari dengan situasi psikologisku itu yang terkadang masih muncul sampai saat ini. Seandainya aku punya cukup uang, aku akan konsultasi dengan seorang psikolog dengan intens. Berhubung keterbatasan finansialku, cukuplah terapi pribadi yang menurutku sangat murah: MENULIS.

Aku suka menulis. Saat SD, setiap ujian cawu untuk matapelajaran Bahasa Indonesia terdapat lima essay yang salah satunya adalah perintah untuk mengarang dengan tema yang telah ditentukan. Aku selalu menulis panjang untuk soal ujian mengarang. Kira-kira, minimal sekitar 100 kata untuk level mengarang pendek anak SD. Tanpa sadar aku sangat menikmati pelajaran mengarang itu ketika kawan-kawanku kebingungan merangkai kata saat ujian. Nilai Bahasa Indonesiaku sering tertolong dengan essay mengarang itu. Guru selalu memberi nilai lebih untuk hasil karanganku. Seandainya masih ada, aku akan mengliping karangan-karanganku itu. Pasti lucu dech kalau membaca ulang.

Aku mulai menulis diary ketika SMP. Aku melihat mbak Ita menulis diary, jadi aku tertarik dan menirunya. Aku merasa sudah cukup ‘dewasa’ untuk mencari tempat curhat tentang problematika masa remajaku. Aku sangat tertolong dengan diary itu. Ia pengganti mama, bapak dan kakak yang jarang mau mendengarkan celotehanku. Mamaku bukan penyimpan rahasia yang baik. Ia sering membocorkan cerita-cerita kami (anak-anaknya) pada bapak. Mama tak cukup mengerti bahwa rahasia seorang anak kecil seperti aku waktu itu sangat berarti. Ketidakpercayaan seorang anak pada ibunya pun muncul (seharusnya itu tak terjadi). Setelah masuk SMA aku paham mengapa mamaku bersikap begitu dan aku tak lagi mengharapkan beliau untuk jadi tempat curhatku.

Bapakku bekerja di Wonosobo, tiga jam dari Kebumen (rumah masa kecilku berada). Seminggu sekali beliau menemui kami. Bapakku seorang yang sangat bertanggungjawab dengan keluarga dan sangat sayang terhadap anak-anaknya. Namun, cara menyayangi itu tak wajar, penuh dengan paksaan dan kekerasan. “Lebih baik aku memukulmu sekarang daripada kamu disiksa di akhirat nanti.” Itu kata-kata yang sering diucapkannya saat memberi ‘pelajaran’ atas kelakuan kami yang nakal. Teramat membekas. Tapi aku tak pernah mau menyalahkan bapakku dan selalu menolak pikiran-pikiran untuk membalas dendam atas sikapnya. He’s my father and I know he love me so much.

Terkadang, bapakku bisa menjadi teman yang sangat baik, mendengar curhatanku dan menenangkan hati. Sebuah pesan yang tak pernah aku lupa adalah cerita tentang sebuah pohon kelapa dengan lima buah kelapa yang menggelantung di sela-sela daunnya. Cerita itu teramat menyentuh dan sejak itu aku berjanji untuk tak pernah mengecewakan dia.

Seringkali, ia menjadi ‘monster’ yang sangat jahat, pemarah dan hakim yang zolim. Kalau wujudnya sedang menjadi ‘monster’, ia tak pernah memberi kami kesempatan untuk membela diri. Pembelaan itu tesimpan rapi dalam hati. Dan keputusan akhir serta ‘kebenaran’ benar-benar hanya mutlak di tangannya. Otoriter untuk sebuah penghakiman kesalahan.

Jangan salah paham dengan tulisanku ini. Aku tidak bermaksud membuka aib keluargaku, meskipun bila dilihat dari sudut pandang itu tak bisa terelakkan lagi: cerita buruk tentang keluarga. Aku hanya ingin berbagi cerita supaya Anda yang sempat membaca tulisan ini dapat mengambil pelajaran dari setiap kalimat-kalimat yang kutulis. Penilaian saya serahkan kepada Anda: baik dan buruk.
Mbakku, kakak tertuaku. Bukan tipe pendengar setia. Dia suka bercerita namun tak suka mendengar cerita. Lain halnya denganku, aku sedikit cerita dan suka mendengar cerita. Aku sering mengalami kegondokan ketika curhat dengannya. Ia sering memilih tidur daripada mendengar ceritaku, padahal seringkali ketika mataku terasa ngantuk dan dia ingin curhat, aku selalu memaksakan mata dan telingaku untuk standby mendengar bait-bait ceritanya.

Kami memang beda dan sering dibeda-bedakan oleh bapak meski ia tak pernah merasa membedakan. Aku yakin rasa iri sering muncul di hati kami sewaktu kami secara tidak langsung dibeda-bedakan oleh sikap dan ucapan bapak. Namun seiring kedewasaan kami, perasaan iri itu berubah menjadi sebuah pemakluman. Aku yakin, mbakku itu tak pernah mau dibeda-bedakan. Mbakku seorang yang pintar, ceria, cerewet, ramah, cuek dan supel. Kalau melihat binar matanya, akan terbaca bahwa dia seorang yang energik.

Aku, seorang yang cenderung diam. Umur tiga tahun, suaraku tak pernah keluar, hanya tangis. Aku dikira bisu oleh bapakku. Sukar mengungkapkan keinginan lewat kata-kata, bahkan berak pun sering di celana. Bapakku cukup geram dengan tingkah nakalku itu. Entah kapan aku berhenti berak di celana, kalau tidak salah setelah pantatku dipukul habis-habisan oleh bapak. Kira-kira umur tiga tahun. Tapi, berdasarkan ingatanku yang tak sempurna, waktu TK nol kecil pun aku pernah berak di sekolah (mungkin umur 5 tahun). Memang keterlaluan, tapi itulah aku, hehe....

Itu sedikit tentang aku, bapak, mama dan mbakku. Mereka dulu bukan orang yang enak untuk dijadikan tempat curhat.

(Anehnya, sekarang hampir tiap minggu bapak dan mama memintaku menelpon dan terkadang aku ditelpon hanya untuk curhat dengan cerita-cerita yang monoton. Aku selalu setia mendengarnya. Terbalik bukan?)

Aku memilih untuk menjadikan diary sebagai tempat curhat terbaikku. Dia tak pernah memarahiku, memotong ceritaku, terlelap ataupun memberiku saran. Semua cerita kutuang di dalamnya, banyak tentang cinta, kesedihan dan ketertekanan. Dari dialog satu arah itu, ada semacam peredaman emosi di hati. Itu sangat manjur untuk mengobati gejolak hati.

Ketika duduk di sekolah menengah, aku pernah sakit dan merasa depresi dengan cara didik bapakku. Saat itu pula aku merasa jatuh cinta dengan seseorang yang tak pernah kuharapkan. Emosi yang bertolak belakang dan itu hanya kupendam dalam hati. Sebagian kutuangkan dalam diary. Kalau tidak salah ada tiga atau empat diary mungil yang kuhasilkan selama SMA. Diary-diary itu masih tersimpan rapi di kamarku di Kebumen.

Jangan bayangkan, diary-diary itu seperti milik Soe Hok Gie yang penuh dengan heroisme perjuangan masa mudanya. Pikiran itu terbuang jauh dari benakku, mengatasi tekanan dalam hidup saja serasa setengah mati, apalagi memikirkan sebuah perjuangan.

Tulisan tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Indonesia sempat terbersit, namun terkalahkan oleh kisah-kisah cinta picisan dan deretan permasalahanku dengan keluarga dan orang-orang di sekelilingku. Tanpa sadar aku menggunakan diary itu sebagai dokter pribadiku, bukan sebagai deretan kumpulan peristiwa yang dapat dijadikan sebuah sumber, layaknya catatan harian Soe Hok Gie dan Anne Frank. Ingin seperti mereka, namun tak bisa. Aku cukup bersyukur dengan diary-diaryku, merekalah dokter pribadiku yang membuatku sembuh dari keterpurukan dan memberi energi yang luar biasa untuk: MENULIS.

Terkait dengan kemampuan menulisku itu, aku sangat berterima kasih pada Bapak dan mama. Tanpa didikan beliau, aku tak kan seperti sekarang ini (bersyukur bisa menyulap cara didik orang tua yang keras dengan tindakan-tidakan yang penuh kelembutan dan berjanji hanya mewarisi kebaikan dari mereka dan mengharamkan kekerasan). Untuk mbak Ita, yang tumbuh bersama dan terimakasih telah menginspirasiku dalam beberapa hal.

Terimakasih yang tak terhingga untuk suamiku, orang pertama yang membangkitkan roh menulisku hingga aku melahirkan karya Tiga Sajak yang Menari di Kepala dan beberapa karya sastra yang belum terekspos (aku sering menyebutnya begitu, karena aku pernah sangat tidak yakin bahwa aku bisa menulis dengan baik).

Terimakasih untuk Pak Taufik Rahzen, Gus Muh (Muhidin M. Dahlan) dan mbak Ria (Rhoma Dwi Aria Yuliantri) yang memberi jalan untuk menulis.

Terimakasih yang tak terhingga untuk Mas Andreas Harsono yang mengajariku banyak hal tentang jurnalisme. Beliau adalah orang kedua yang membangkitkan roh menulisku. Sejak mengenal beliau, aku merasa yakin bahwa aku mampu menulis, minimal untuk diriku sendiri dan maksimal untuk pengabdianku pada masyarakat yang belum bisa aku berikan saat ini. Perjalanan beliau untuk membalas budi kebaikan guru-gurunya sangat menginspirasiku. Suatu saat, entah kapan, aku pasti bisa berbuat sesuatu yang berharga bagi masyarakat. Semoga!

4 komentar:

aaadesd mengatakan...

hii frenz,,,salam kenal,blog ini sangat bagus,i like, ,semangat dalam membangun blog,,,

Unknown mengatakan...

Mbak Putri makin cakep aja di depan lepi :))

Lilih mengatakan...

Oh iku putri tho? Tak kiro bukan? Soale saiki ayune bukan kepalang... ckckck, dashyat.

Cak Mano itu Put, sudah mbati durung?

Herma Yulis mengatakan...

Wadew, sirahku kok yow dadi gedhe ngene,wakakakak... Kok lambene dho maniz-maniz men yo, mesti sudah pernah merasakan maniznya bibir perempuan jd begicu,huahaha,,,
Mas Lilih, ra mbathi2 je. Kon muleh bumen sek nembe mbathi :)
Iki aku nganggo blognya misuaku, salah nganggo anu, huahaha..