Jumat, 01 Juli 2011

Renungan untuk Rifando


RIFANDO. Aku baca sederet nama di selembar kertas biodata yang kuminta.
“Hobby karate ya?”
“Atlet provinsi bu,” katanya dengan menampakkan kebanggaan.
Hmm... Aku nggak nanya itu. Apa peduliku mau atlet provinsi atau dunia kek, tak berpengaruh sikapku padanya. Prinsipku, kalau murid mau menghargi gurunya, aku pasti akan baik dan murah hati memberi nilai. Nilai itu persoalan kecil, bagiku yang penting sikap, tak cuma denganku saja tapi dengan semua guru.

Gara-gara itu, aku pernah menegurnya bahwa ia orangnya besar kepala sampai kembang kempis hidungnya jika kepalanya lagi membesar. Itu reaksiku karena geram atas tingkahnya yang suka menyombongkan diri. Emang loe siape? Baru karate, level berape? Aku juga bisa nyombong kalo cuma gitu? Suami gue wartawan. Siapa yang gak takut sama wartawan? Presiden sekalipun takut dengan wartawan. Dia belum tahu kehebatan wartawan dan media massa. Ia bisa mengendalikan penguasa, pengusaha bahkan rakyat.
Aku juga seorang penulis. Beberapa tulisanku sudah dimuat di media lokal maupun nasional. Tak banyak orang tahu, tak banyak penulis yang lahir dan hidup di Jambi. Aku bisa saja menulis kritikan terhadap apapun yang tak kusuka, aku jauh lebih mahir menulis daripada bicara di depan umum. Tak banyak orang di Jambi ini yang bisa menulis seperti diriku. Aku tahu pasti sumber daya manusia Jambi seperti apa. Aku pernah hidup di Jawa, di Jakarta yang katanya kota paling maju, paling kejam.
Aku sebenar-benarnya bisa sombong, tapi aku tak mau melakukannya. Di atas langit masih ada langit. Di atas orang hebat masih ada orang yang lebih hebat. Mungkin di Jambi aku seorang guru yang langka, guru yang bisa menulis, tapi di Jawa sana aku bukan siapa-siapa, banyak yang lebih hebat dari aku.
Di dunia ini tak ada yang abadi. Kalau punya jabatan, punya kekuasaan, punya kehebatan, punya kekayaan, mau sampai kapan? Tak selamanya kita miliki. Jabatan bisa suatu saat dicopot. Kekuasaan bisa setiap saat berakhir. Kehebatan hanya bertahan sementara. Kekayaan bisa habis tanpa sisa. Kalau sudah tua nanti ya pasti tinggal nunggu mati, tak bisa bawa apa-apa. Masih muda sudah sombong, tua nanti ompong juga, sama aja boong. Ngerti nggak tuh maksudnya???!!! Hehehe...
Itu kesan pertamaku pada sosok Rifando. Seorang murid kelas XI IPS 1 di SMA 10 Batanghari. Aku baru saja pindah ke sana, kurang lebih 1,5 bulan yang lalu. Sempat juga mengajar sekitar tiga minggu di seluruh kelas yang ada di sana kecuali XI IPA.
Nama itu sempat mengusik pikiranku. Aku tertarik dengan cerita tentangnya. Aku sempat lupa namanya, lalu aku cari dan kuingat baik-baik. Aku sempat antipati dengannya setelah mendengar cerita tentangnya. Beberapa guru mengatakan minta ampun atas tingkahnya yang mau melawan guru dan seenak perutnya sendiri. Sikap yang dibenci oleh seluruh guru di seluruh dunia (aku yakin itu).
Tapi ketika aku mengobrol tentang dia dengan seorang guru yang cukup dekat denganku, aku berubah pikiran. Aku tertarik sekaligus prihatin dengan kondisi dia. Aku harus memberi tahunya.
Tengoklah kejadian kemarin, ketika ia sedang membujukku untuk membocorkan info naik kelas atau tidak. Aku bilang: “Kalau seandainya kamu dak naik, apa kamu mau ngebom sekolah?”
“Idak bu, aku mau membalasnya dengan cara sayo dhewek.”
“Balas dendam?”
“Iyo bu.”
“Harusnya kamu instropeksi diri dong. Guru gak akan berbuat gitu kalau kamu gak betingkah.”
“Tapi mereka kalau dituruti makin melonjak bu.”
Sayang sekali percakapaku terpotong karena dipanggil kepsek.
Kulihat dia tetap pada posisi semula sejak kutinggalkan. Nampaknya ia berfirasat tak naik kelas atas ucapanku.
Ia tak sadar bahwa guru juga manusia biasa seperti dirinya. Bisa marah jika tak suka dengan sikap muridnya, apalagi yang melawan. Mereka punya kekurangan dan kelebihan. Gimana kalau kata-kata itu diucapkan guru-guru: Rifando akan semakin melonjak kalau dinaikkan kelas. Mau apa dia kalau majelis guru sepakat dengan keputusan bahwa ia tak naik kelas? Membelanya? Apa yang mau dibela dari sikap dia yang hanya mau baik dengan guru yang disuka saja? Mau membalas dendam seperti katanya? Mau berbuat seperti Feni yang mecahin kaca sekolah? Apa gunanya? Ia tetap tak naik kelas! Mau mengandalkan bapaknya, keluarganya? Paling-paling cuma bisa pindah sekolah, tentu ortunya pakai acara memohon-mohon dan mempertebal muka dulu pada kepsek. Pastinya ia akan dibantai habis-habisan dengan kata-kata sama ortunya. Mau ke terminal seperti katanya? Emang enak jadi preman dan gelandangan, jadi sampah masyarakat (istilah orang yang tak berguna)? Cetek nian otaknya kalau ia melakukan hal itu.
Ia mungkin tak tahu kalau dirinya bisa naik ke kelas XI karena jasa salah seorang guru. Sayang sekali ia tak memanfaatkan kesempatan itu. Ia tak berubah, itu kata guru-guru yang mengajarnya.
Mau melawan guru seperti yang dikatakannya? Itu cara CEMEN! Seperti teroris yang mau melawan kehebatan Amerika tapi tak sanggup, akhirnya frustasi dan pakai cara gila dengan bom bunuh diri.
Taukah kamu Soe Hok Gie? Orang yang difilmkan dalam ‘Gie’. Ia orang yang pernah melawan guru, namun dengan cara yang terhormat dan menurutku sangat mengesankan. Ia melawan gurunya bukan karena ia tak mau mengerjakan tugas, karena membolos, karena gurunya cerewet, dll. Ia melawan gurunya karena ia berusaha membetulkan nama seorang penyair yang disebutkan oleh gurunya, tapi si guru tak mau dibetulkan dan merasa benar. Bahkan ia sampai tak tuntas nilainya gara-gara perdebatan itu. Itulah baru guru yang tak bijak dan murid berhak protes dengan gurunya.
Bagaimana dengan Rifando? Apa ia pantas menyalahkan guru dengan sikap dia yang tak patuh dengan perintah guru yang tujuannya baik. Bagaimana ia akan mendapatkan nilai jika tak mau tugas, tak mau mau belajar, tak mau mendengarkan? Homeschool dan sekolah alam aja masih butuh guru, tugas dan nilai, apalagi sekolah macam SMAN 10 Batanghari. Emang sekolah nenek moyang loe, bisa seenak perut?
Tak semua guru punya sifat sentimen dan pilih kasih kepada murid-muridnya. Ia tak sadar bahwa guru selalu memperhatikannya dan tak ingin ia menjadi orang yang tak mau menghargai orang lain. Hampir semua guru yang mengajarnya merasa tak dihargai karena sikapnya yang kurang elok. Bagaimana guru mau menghargai dia? Perlu digaris bawahi, dengan sikapnya yang tak berubah menunjukkan bahwa ia tak menghargai usaha guru yang telah membelanya untuk naik kelas XI.
Aku menebak, sepertinya dia hanya seorang anak yang kurang perhatian orang tuanya sehingga ia berbuat begitu. Semua anak yang merasa tak diperhatikan lebih orang tuanya akan berbuat sama dengannya. Mencari perhatian semua orang, bikin heboh dan segala rupa yang menarik perhatian orang. MPO banget...
Ia bukan anak yang bodoh. Ketika aku pancing tentang pernyataan yang kontroversial tentang waria, dialah yang pertama kali bereaksi. Apakah ia cukup puas dengan jawabanku atau tidak, aku tak tahu. Ia cukup kritis dan rasa ingin tahunya cukup tinggi. Itu salah satu kelebihan orang berlebih sifat emosionalnya.
Ia tak suka diajak berbicara dengan nada keras, membentak dan semua yang memicingkan urat syaraf. Itu berita yang aku terima dari beberapa guru yang berhadapan dengannya. Begitu ya... Seingatku aku pernah membentaknya dan menyuruhnya berdiri di depan kelas karena tak mengerjakan tugas. Entahlah, aku tak tahu mengapa ia tak melawanku.
Ia juga pernah mengejarku untuk menanyakan letak rumahku. Ia akan mengantar tugas yang aku berikan dan ternyata ia mengantarnya, walaupun aku tahu dalam tugas itu bukan tulisannya (tulisannya tak serapi itu, aku ingat saat pertama kali membaca biodatanya), aku menghargai usahanya dan menuntaskan nilai sosiologinya.
“Ngapain nanya kisi-kisinya? Bukannya besok sabtu tahu juga kan?”
“Besok kan pergi jalan-jalan bu? Jadi gak bisa ambillah bu.”
“Kan ada bapakmu yang ngambil.”
“Aih, entahlah bapak mau apa idak.”
Ternyata ia banyak masalah dengan bapaknya. Kata kawan, ia dan bapaknya sama-sama keras.
Ia mengaku bermasalah dengan psikologinya. Mungkin. Ia sadar bahwa dirinya sangat tempramental. Ia sadar, berarti sebenarnya ia tak pernah mengharapkan sifat seperi itu.
Aku ingat ketika usiaku seusia dengannya. Aku pernah merasa sangat marah kepada kedua orang tuaku. Aku merasa diremehkan dan orang tuaku selalu mengungkit kesalahan-kesalahanku yang telah lalu. Dan yang aku benci: aku selalu dibanding-bandingkan dengan mbakku. Aku tak bisa bergaul, tak pernah sekolah agama, tak pintar (sampai-sampai aku dibilang otak 7 hanya karena nilai rata-rata raporku selalu tujuh). Tak enak bukan diperlakukan seperti itu???
Tapi aku sanggup menunjukkan membuktikan diriku bisa bermanfaat dan berhasil, akhirnya ortuku mau tak mau harus mengakui kemampuanku (mungkin mereka tak pernah mengucapkannya, tapi dilihat dari sikapnya, ortuku sudah sangat berubah dalam memperlakukanku). Itu gunanya membuktikan diri bahwa kita manusia yang bermanfaat, bukan sampah masyarakat yang nyemak-nyemaki!
Sebenarnya aku tipe orang yang mudah marah, kata orang tempramental, hanya saja aku berjenis perempuan, jadi aku bisa menyembunyikan sifat itu. Tapi sebenarnya aku tak pernah menginginkan sifat itu karena sangat menyakitkan bila tak dilluapkan.
Aku pernah minggat karena kata-kata bapakku yang sangat menyakitkan hatiku. Aku pernah berjalan sejauh Muarabulian-Tembesi tengah malam gara-gara marah dengan pacarku dulu. Aku juga pernah pura-pura sakit parah untuk meminta perhatian orang tuaku (kelakuan yang menurutku sangat kekanak-kanakan dan lucu,hehe...). Jikalau marah aku suka membanting pintu, memaki-maki dan mengeluarkan sumpah serapah yang sangat menyakitkan hati.
Suatu kali aku meminta izin untuk menikah saat aku masih kuliah. Bapakku marah besar! Jiwa perempuanku pun keluar, aku menangis. Bapakku melunak. Ia bercerita tentang sebuah pohon kelapa yang memiliki lima buah kelapa. Jikalau salah satu buahnya tak bagus (orang Jawa bilang kiring, buah itu tak tumbuh dengan baik, kecil dan isinya tak bagus) pasti tak kan berguna. Tak bisa untuk menggulai, tak bisa dimakan buah muda dan airnya, tak bermanfaat. Lima buah kelapa itu seperti lima orang anaknya. Apabila salah satu dari kelima anaknya seperti buah kelapa yang tak bagus itu, maka tak akan jadi orang yang berguna. Ia akan sangat sedih. Ia tak mau aku menjadi seperti buah kelapa buruk itu.
Sifat bapakku beda tipis denganku. Mudah marah, tak mau mengalah dan suka main tangan. Kalau dilawan dengan kasar atau kekerasan semakin melawan tapi jikalau dengan lembut akan luluh. Bagaimana dengan sifatmu? Beda tipis juga kan? Kita memang orang spesial, tak banyak orang seperti kita, jangan sampai karakter kita yang unik itu merugikan orang lain. Kamu wajib memahami itu jikalau tak ingin jadi sampah masyarakat.
Seingatku, terakhir bapak memukulku saat aku pura-pura sakit itu (sewaktu SMA). Setelah pensiun main tangan, bapakku memiliki mulut yang tajam dan pedas. Seperti menusuk burit kito. Luar biasa sakitnya! Itu sifat buruk bapakku. Aku teramat membencinya. Tapi, ia hanya manusia. Manusia itu punya sifat baik dan buruk, bahkan nabi sekalipun.
Ketika aku mulai berfikir jernih, ternyata bapakku punya sisi baik. Ia sebenarnya sangat menyayangi anak-anaknya, ia mudah sekali terharu bahkan ia bisa bangga dan menangis ketika aku diterima kuliah di UNY lewat jalur SPMB, tanpa bayar, tanpa ikut bimbel mana pun. Benar-benar usahaku sendiri. Ia sangat perhatian dengan anak-anaknya. Ia... entahlah, aku tak bisa mnyebutnya lagi. Kebaikan bapakku sebenarnya banyak, hanya saja tergilas dengan sifat buruknya itu. Bagaimana dengan bapakmu? Aku rasa ia punya sisi baiknya juga. Kamu pernah mencoba mencarinya?
Pernah suatu kali bapakku bilang: “Nak, kita memiliki sifat yang sama. Jadi kamu harus bisa mengendalikannya.” Dug! Waktu itu aku cukup kaget. Sebenarnya bapak itu sadar dengan sifatnya yang keras dan gampang marah. Ia bercerita bahwa ia jauh lebih baik dari sikap bapaknya (kakekku) yang punya sifat beda tipis juga.
Bagaimana mengendalikannya? Aku sempat berfikir begitu. Bapakku cuma memberi kata kunci: belajar. Apa maksudnya? Bagaimana mengendalikan emosi yang meluap-luap? Bagaimana cara menahan diri untuk tidak terpancing emosi? Bagaimana????
Huh, aku benci setengah mati memikirkan itu. Kalau aku tak marah jikalau ada yang tak kusukai, jikalau ada orang yang tak mau mengalah denganku, jikalau orang mengkasariku, jikalau orang meremehkan aku, aku akan merasa tersiksa. Seluruh tubuhku gemetar saat menahan amarah itu. Sakit! Selalu aku merutuk saat aku tak bisa meluapkan amarahku itu.
Seiring kedewasaanku, aku menemukan apa yang dimaksud ‘belajar’ oleh bapakku yaitu memahami diri kita dengan sepenuhnya dan menemukan cara yang terbaik untuk mengendalikan emosi itu yang sesuai dengan diri kita. Diri kitalah kuncinya.
Kalau aku sukanya menulis diary. Semua kemarahan kutumpahkan di buku yang entah berapa buah (sekarang berganti dengan laptop). Taukah kamu? Rupanya itu terapi terbaik untukku untuk menahan emosi yang meluap-luap dan menunjukkan bakatku di bidang menulis. Sejak itu aku tak sepemarah dulu meskipun aku masih merutuk-rutuk kalau ada sesuatu hal yang tak sesuai dengan mauku. Kamu bisa melihat perubahanku ketika aku mengajar, seringkali aku menarik nafas dalam-dalam untuk menahan amarah ketika kalian mengabaikanku. Keringatku dingin mengalir menahan capek berbicara dan menahan amarah. Aku merasa jauh lebih baik dengan seperti itu. Tak membuat murid-muridku semakin bete gara-gara kemarahanku.
Bagaimana dengan caramu? Kamu belum bisa menemukannya? Tanya hatimu? Apa yang bisa meredam amarahmu? Jangan bilang: cewekku yang bisa mengendalikan aku. Mungkin iya, tapi hanya sementara selagi masih ada cewekmu, kalau tak ada? Itu bukan cara yang aku bilang tadi. Orang lain bukan cara terbaik untuk mengubah dirimu, ia hanya sebagai perantara yang sifatnya sementara. Seperti halnya diriku yang mencoba menunjukkanmu jalan, aku hanya seorang perantara untukmu.
Kamu harus menemukan cara itu dari dalam dirimu sendiri, sampai mati kamu harus menemukannya. Seperti caraku dengan menggunakan diary. Kamu harus mencarinya biar tak merugikan orang lain seumur hidupmu. Harus! Aku tunggu ya. Aku ingin melihatmu menjadi orang sukses suatu hari nanti. Untuk jangka pendek, aku ingin melihatmu tetap di SMAN 10 Batanghari hingga lulus sekolah nanti. Tunjukan bahwa kamu seorang pejuang Rifando yang terhormat bukan Rifando yang cemen, kalah dan lari dari nasib. Selamat berlibur!

Tertanda,
Puteri Soraya Mansur
*Surat ini tak sampai pada Rifando. Akhirnya aku menyampaikan pesan ini melalui lisan saja, beberapa hari sebelum ia menerima rapor: Naik kelas bersyarat (pindah sekolah). Mungkin itu pelajaran dan keputusan terbaik buatnya.

Tidak ada komentar: