Minggu, 24 Juli 2011

Cukup Tiga Tahun Tiga Bulan Saja

Tiga tahun tiga bulan aku meninggalkannya. Seorang mantan kekasih yang dulu sangat aku cintai. Semua tahu, terutama dari pihaknya, akulah biang keroknya. Akulah yang telah meninggalkannya. Tak ada penjelasan dan memang aku tak mau menjelaskan. Semuanya terlalu cepat dan tak terduga. Tak ada rencana untuk meninggalkannya.
Waktu itu, pertengahan April, aku meminta putus padanya untuk kesekian kali. Bukan karena ada seseorang yang menggantikannya di hatiku tapi karena keputusasaanku atas restu orang tua. Nasibku memang sudah tertulis begitu. Aku tak berani melawan orang tuaku. Aku tak berani beresiko seperti mbakku yang suaminya tak akur dengan orang tuaku. Yang jelas aku tak tega mengorbankan hati kedua orang tuaku demi kebahagiaanku. Mungkin aku terlalu naif dengan mempertahankan cinta seperti itu.

Tak pernah kusangka itu pertemuan terakhirku dengannya. Seperti dalam sinema-sinema, kami berpisah di antara laju kereta Taksaka di stasiun Tugu. Aku hanya bilang: "Jikalau berjodoh pasti kita ketemu lagi. Jika tidak, ikhlaskanlah aku."

Akhir April, tepatnya tanggal 28, aku berkenalan dengan Herma Yulis lewat SMS. Ia sengaja diperkenalkan padaku oleh mbak Ria karena melihat nasib percintaanku. Entah kenapa, biasanya aku tak pernah mau ditawari seperti itu, kali ini aku berubah pikiran.

Aku sempat bimbang juga dengan kondisiku waktu itu. Aku tak mau ia hanya sebagai pelarianku karena kekacauan yang melanda hatiku. Perkenalan kami hanya lewat handphone dan email. Sesekali aku bertanya pada mbah Google. Aku tak tahu wajahnya, ia tahu wajahku. Beberapa kali aku meminta gambarnya, tapi ia menundanya. Akhirnya ia mengirimiku potretnya lewat email. Tak menyangka, ada sebuah ketidaksempurnaan yang membuatku terharu.

Aku luruskan niatku. Ini sebuah perkenalan untuk jenjang keseriusan atau hanya permainan hatiku yang galau.
Beberapa kali aku bertanya pada Allah. Malam-malam dengan penuh harap aku bermunajat untuk sebuah ketetapan hati. Aku pun mantap.

Mantan pacarku sempat curiga, ia tahu pasword emailku dan sering mengeceknya. Lama-lama ketahuan juga. Akhirnya aku mengaku dan ada sebuah tuduhan yang tak langsung diucapkan padaku bahwa aku melakukan perselingkuhan. Katanya aku pernah berjanji akan menikah dengannya. Aku tak tepati janji itu.

Janji tinggallah janji. Aku tak bisa mempertahankan janji itu. Aku telah memohon untuk kesekian kalinya supaya ia serius dengan kuliahnya, jangan hanya memikirkan aku saja. Lulus bersama, cari kerja dan menikah. Aku sering ingatkan bahwa berjuanglah dulu, baru giliranku nanti ketika akan ke pelaminan. Ia tak sanggup melakukannya. Sebenarnya aku tak pernah mau menuntutnya macam-macam tapi situasi tak berpihak padaku. Aku tak mau kawin lari, tak mau juga tanpa restu orang tua. Itu suatu permintaan yang wajar bukan? Lagi-lagi situasilah yang menyudutkanku. Aku tak menyalahkan situasi atau siapapun untuk hal ini. Sebisa mungkin tak mau menyalahkan dan tak mau membela diri. Hanya bercerita.

Apa yang akan aku perjuangkan ketika aku telah lulus kuliah dan ia masih berkutat pada kampus? Orang tuaku tak pernah menyetujui hubungan kami sejak pertama aku mengungkapkannya. Seharusnya ia sadar bahwa butuh perjuangan keras dengan pembuktian diri yang realistis: LULUS dan KERJA.

Aku sering menyalahkannya, memarahinya, memakinya, semua hal yang menyakitkan. Aku jahat. Aku tahu itu. Aku hampir gila dibuatnya karena aku teramat mencintainya waktu itu dan orang yang kucintai itu tak mau memahami perjuanganku, tak bisa menempuh jalan yang kutunjukkan. Ia berkorban mati-matian mengikutiku ke mana pun aku pergi, demi tugas-tugasku, skripsiku dan semua keperluanku. Ia pertaruhkan semuanya untukku. Aku sudah bosan memperingatkan dan akhirnya aku biarkan ia berbuat semaunya dan aku berbuat semauku. Kemarahan, makian, penghakiman itu hanya pelampiasan keputusasaanku. Lima tahun, bukan waktu yang pendek. Siapa mau bertahan untuk kesia-siaan? Aku tak pernah mau.

Aku dan dia sama-sama banyak berkorban dan sama-sama salah. Tapi di sini akulah yang paling terlihat salah karena aku sebagai pihak yang meninggalkannya. Tak apa aku jadi pihak yang salah dan bukan berarti aku tak merasa bersalah. Aku merasa bersalah dan selalu ingin meminta maaf. Aku masih punya hati nurani.

Sebelum aku menikah, sempat aku bilang padanya untuk menemaniku menemui orang tuanya untuk menjelaskan semuanya, bahwa kami selama ini punya rahasia: orang tuaku tak pernah setuju. Ia tak mau. Ia juga bilang, jangan datang, nanti bisa babak belur. Tambah ciutlah hatiku. Katanya ia sudah bilang dan sekitar setahun kemudian aku mendengar dari salah seorang teman bahwa teryata ortunya belum tahu masalah itu. Ketika mengetahuinya (saat aku sudah menikah dan tak ada kesempatan itu lagi), aku merasa seperti penjahat yang kabur saja. Tak bertanggung jawab. Yah, saat ini aku hanya bisa berfikir: sudah nasibku jadi orang yang salah, mau seperti apapun pembelaanku, aku tetap bersalah. Dan aku tak mau menyalahkannya untuk ini, sebab meninggalkannya adalah keputusanku.

Dua bulan setelah perkenalan tak terduga itu, aku bertemu dengan lelaki yang sekarang menjadi suamiku itu. Itu pun diawali dengan perseteruan dengan orang tuaku dulu. Mereka berfikir suamiku mau menipuku karena aku pernah bercerita bahwa ia lama kirim potret untukku dan ia tak punya adat ketimuran karena menyuruhku menemuinya di Jambi. Itu hanya alasan saja, aku tahu mereka tak ingin anak perempuannya menikah dengan lelaki yang kurang sempurna secara fisiknya. Kali itu aku tak mau mengalah, aku sudah banyak sekali mengalah. Air mataku mengalir tanpa aku kehendaki. Luka lama belum tertutup, tergores lagi luka baru. Menyakitkan!

Tak mudah perjalanan bersama suamiku menuju ke pelaminan. Ortuku lumayan banyak menuntut. Gajiku waktu itu tak seberapa, beberapa peralatan pernikahan aku membelinya dengan uangku sendiri. Tak banyak tapi cukup membantu. Tiga puluh juta lebih suamiku menghabiskan uangnya. Alhasil, setelah menikah kami pun minus keuangan alias punya hutang. Dari seserahan yang aku terima, hanya beberapa baju, Al-Quran dan emas 20 gram yang kubawa ke Jambi. Aku hanya membawa tubuhku untuk dibawa suamiku. Semua isi amplop  (hanya beberapa yang di luarnya tersemat nama temanku diserahkan padaku, tak banyak, tak sampai sepuluh) dan uang seserahan masuk ke orang tua. Aku tak bisa membayangkan bila aku menikah dengan mantanku dengan kondisi seperti itu? Aku pernah bilang padanya, jikalau aku diberi mas kawin hanya Al-Quran pun mau, tapi orang tuaku? Aku tak pernah mau memberatkan calon suamiku.

Orang tuaku adalah orang yang sangat spesial buatku. Manusia langka yang tak semua anak memilikinya. Cintanya susah dimengerti. Ia mencintai dengan cara yang unik. Ia punya banyak obsesi. Salah satunya menginginkan semua menantunya terutama yang lelaki memahami agama dengan baik. Ia tak mau menantu yang kurang paham agama. Suami mbakku adalah menantu yang minim pengetahuan agamanya. Ia bernasib hampir mirip dengan mantanku, tak direstui, tapi ia maju terus. Ia tak lulus kuliah dan ortuku merestuinya menikah dengan mbakku. Rupanya ortuku banyak kecewa dengan suami mbakku, akhirnya aku pun jadi sasaran empuk untuk mengembalikan prinsip semula dan berhasil.

Aku selalu dicekoki semua hal tentang kriteria suami dan yang utama adalah ilmu agamanya, wajah dan lainnya nomor kesekian meski ketika mau menikah dengan suamiku masalah wajah jadi persoalan. Ortuku sengat gencar melancarkan misinya itu. Aku sadar bahwa aku terpojok pada posisi yang tak akan menguntungkanku bila aku terus melawan kata-kata dan nasihat ortuku. Aku tak mau disebut anak durhaka juga. Lebih tepatnya aku hanya korban situasi dan memang sudah nasibku harus memilih. Aku menetapkan pilihanku pada lelaki yang malam ini terbaring di sisiku.

Tiga tahun tiga bulan, aku memendam cerita ini dan tak pernah kusampaikan pada mantanku. Pagi ini aku membaca statusnya bahwa ia belum bisa melupakanku. Aku merasa kasihan padanya, karenanya kutuliskan semua ini. Semoga ia menemukan sosok perempuan yang mau mengerti ia apa adanya dan tak pernah menyakiti seperti diriku.

Kau hanya perlu mencoba meski sulit. Taukah kamu, bukan hal yang mudah melupakan sebuah kenangan tapi jika hatimu memang tulus melepaskanku, InsyaAllah suatu saat pintu hatimu akan terbuka untuk perempuan lain. Aku selalu mendoakanmu untuk itu. Maaf atas semua salahku. Aku tak pernah mau membencimu dan tak mau lagi mencintaimu. Takdir kita memang berhenti pada tiga tahun tiga bulan yang lalu. Herma Yulis adalah takdirku dan aku akan setia dengan takdirku sampai maut memisahkan kami. Aku berharap engkau begitu.

Tidak ada komentar: