Selasa, 28 Juni 2011

Iing Fatra Indira


Aku resah. Kepalaku penuh dengan pikiran-pikiran bagaimana menjadi orang tua yang baik, yang bisa mendidik anak untuk selalu jujur dan tidak berbuat diam-diam. Aku belum punya anak, tapi di rumah ada seorang keponakan dari suamiku.

Ia kubawa dari sebuah desa di lereng Gunung Masurai. Aku sengaja menyuruh suamiku untuk cepat membawanya ke rumah kami. Aku khawatir jika nanti ia tak bisa masuk sekolah hanya karena persoalan bahasa. Ia sulit mengucapkan bahasa Indonesia dengan baik. Mungkin di sekolahnya yang lama, murid tidak diberi kesempatan untuk aktif menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar belajar-mengajar.
Jika ingin masuk SMA di kota, setidaknya harus bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik supaya ketika tes wawancara dalam seleksi penerimaan siswa baru, ia bisa lulus. Saat ke rumah, ia kelas IX (kelas 3 SMP). Sangat menyedihkan bukan, anak kelas 3 SMP belum mahir bahasa Indonesia?
Iing Patra Indira. Itulah namanya. Ia tak banyak tingkah, cenderung penurut dan agak penakut. Sering mengigau saat tidur. Pintar namun kurang tanggap terhadap lingkungan. Suka anak kecil dan sangat hobby bermain. Suka sinetron dan film laga. Memiliki tipe cowok metroseksual tetapi suka menumpuk baju kotor hingga berminggu-minggu. Sangat suka jengkol dan ayam. Bila ia dinasehati bibirnya selalu dimonyongkan, ekspresi antara mengerti dan ketidaksukaan.
Itu sekelumit tentangnya selama setahun berdampingan di rumah mungilku.
Ketika ia baru menempati rumah kami, ibunya mengkhawatirkan jikalau ia diusilin oleh kawan, seperti: dalam tasnya ditaruh narkoba, rokok, dan lainnya. Ia tak pernah melawan jika dijahati kawan, begitu kata ibunya.
Lain halnya denganku, aku khawatir: Iing terpengaruh gaya hidup teman-temannya di kota.
Ia anak remaja yang baru datang dari desa dengan segala keterbatasan. Tak banyak desa memberi kehidupan ‘wah’ ala kota. Kesederhanaan desa membuatnya bisa hidup hemat.
Lihatlah kota. Teman-temannya. Mereka penampilannya keren ala remaja zaman sekarang. Motor tak seburuk astrea 1994 milik kami. Awalnya ia sering memakai motor jadul itu, kini: tidak pernah. Ia lebih senang diantar-jemput kawannya. Tak pernah mau memakai payung dan terkadang meminjam barang temannya (sebelum kami tegur).
Aku dan Pak Ncu selalu menasehatinya untuk tidak terbawa dengan gaya hidup teman-temannya di sekolah. “Dak telap!”
Apalah mau dikata, godaan hidup di kota memang luar biasa. Aku pun merasakan itu selama bertahun-tahun, semenjak aku mengerti arti kaya dan miskin.
Iing pun tergoda. Diam-diam ia mencongkel celengannya. Katanya untuk iuran kelas. Entahlah. Yang aku tahu, sejak ia memakai hape Pak Ncu (Hapenya rusak, mungkin karena kepanasan. Ia selalu menyetel radio, mungkin itulah penyebabnya) yang tak memiliki headset, ternyata sudah ada headset lain yang bukan asli bawaan hape itu. Aku curiga itu headset baru, tapi aku tak berfikir uang dari celengan itu untuk membeli headset. Aku tak punya bukti. Dan ternyata setelah aku tanya, headset itu bawaan dari hape yang ditemukannya. Prasangka-prasangka itu muncul tanpa bisa kubendung semenjak ia sering membohongiku dan bertindak diam-diam di belakangku.
Malam ini prasangkaku bermain. Aku merasa ia sedang beraksi mencongkel celangannya kembali. Aku mendengar suara-suara mencurigakan. Ia tak jadi beli tas. Uang yang diberikan Pak Ncu sebesar 100 ribu, dikembalikan utuh. Ia tak jajan, tak beli apapun. Tak mungkin! Itulah yang membuatku semakin resah. Apa yang harus aku perbuat?
Iing sangat payah untuk disuruh terbuka. Aku berfikir, budaya sungkan dari keluarganyalah yang menjadi penyebabnya. Ia sungkan bila mau makan lauknya tinggal sedikit. Ia sungkan bila mau bilang main keluar. Ia sungkan bila menginginkan sesuatu. Ia sungkan bila mau menonton TV (tak pernah ia menonton TV serempak denganku, kalau ada aku, ia selalu menyingkir). Tapi anehnya, ia tak sungkan bila tak membantu aku membereskan rumah yang berantakan. Ia kurang care dengan hal-hal pekerjaan rumah.
Aku merasa ia tertekan. Pak Ncu juga bilang begitu. Ia dulunya anak yang bebas. Tak pernah dilarang bermain. Sepertinya suamiku sendiri agak tidak setuju dengan cara mendidikku yang banyak melarang sana-sini, karena ia merasa sewaktu sekolah tak pernah seperti Iing, bebas. Aku khawatir dengan kondisi kota tempatku tinggal yang sewaktu-waktu bisa mengubah dan jahat pada Iing. Iing tak setangguh suamiku ketika waktu muda, wajar bila aku mengkhawatirkannya.
Ia belum bisa membedakan mana teman yang baik mana yang menjerumuskan. Pernah ia ditawari membeli gitar harga 80 ribu dengan alasan temannya orang tidak punya. Ia pernah ditawari membetulkan hapenya yang rusak tanpa memberitahu kepada kami. Ia mengartikan jiwa sosial yang diucapkan Pak Ncu dengan menolong teman tanpa melihat latarbelakang permasalahan.
Aku merasa diberi amanah, itulah yang membuatku sangat berhati-hati. Kota lain dengan desa. Jika tak bisa mengikuti gaya hidup kota tanpa mengikuti arus, yang ada hanya akan tergilas arus itu sendiri. Mungkin, jika Iing tak serumah dengan kami, aku tak akan sepeduli itu. Ia sudah aku anggap seperti anakku sendiri, sedetail perilakunya aku tangkap baik-baik di mata dan otakku. Aku tak memata-matainya, tapi aku tahu sedikit banyak apa yang dilakukannya, apa yang dirasakannya. Bahkan ia sedang jatuh cinta, aku bisa merasakan tanpa aku harus bertanya tentang perasaannya.
Aku tahu bagaimana ia gelisah. Saat ia bingung. Ia malu, marah dan sedih. Aku perhatikan mimiknya layaknya aku memperhatikan mimik wajah mungil anakku. Aku sangat menyayanginya meski ia tak lahir dari rahimku. Aku pernah menangis karena khawatir ketika ia berboncengan tiga dengan kawan-kawannya tanpa menggunakan helm, menyusuri jalan besar yang sering dilewati fuso-fuso.
Seperti malam ini. Ia baru pulang dari bersenang-senang dengan teman-teman sekelasnya di Jambi. Katanya, ia belum makan malam. Tak ada jatah makan malam, hanya pagi dan siang. Aku juga ke Jambi sore tadi. Sejak dalam perjalanan pulang, mulutku selalu mengingatkan Pan Ncu untuk menanyakan apakah Iing sudah makan dan jangan sampai lupa membelikannya makan. Namun, setibanya di rumah, kami tak membelikannya makan. Kata Pak Ncu, tak perlu.
Saat tahu Iing belum makan, aku menyuruh Pak Ncu untuk membelikannya makan. Pak Ncu bilang: “Nggak usah. Dia aja nggak lapar. Tadi kan sudah kusuruh beli mie.” Aku suruh lagi, katanya: capek. Ia merasa sangat capek, tapi mengurusi ayam peliharaan dan mengontrol proyek tempat penampungan air masih bisa. Geram aku dibuatnya. Saat ia sedang mandi, aku keluarkan motor yang sudah terparkir di dalam rumah. Tak kugubris omongannya yang menanyakan aku hendak ke mana. Aku langsung kabur ke warung nasi goreng sekitar jam 09.30 malam. Jam segitu mana ada toko dekat rumah yang buka. Lagian Iing untuk soal begituan agak malas, ia lebih memilih kelaparan daripada mencari makan keluar. Kalau tidak disuruh benar-benar, ia tak akan melakukannya (Kasus yang sama seperti ketika aku menyuruhnya mendaftar ke SMAN 1 Batanghari sendiri. Ia awalnya tak berani, berhubung aku menyuruhnya dengan sangat tegas, ia akhirnya melakukan).
Tak sampai lima menit, Iing menghabiskan nasi goreng itu. Aku bilang sama Pak Ncu, baru ia minta maaf. Aku terlanjur geram dan teringat kembali dengan percakapan kami ketika dalam perjalanan menuju Jambi. Aku bilang bahwa bapakku teramat baik dengan orang lain tapi dengan keluarganya tidak. Katanya: “Iya kayak dek Uti. Baik nian sama orang lain sampai ngutangin orang, tapi sama ponakan dhewek ngasih duit be mikir-mikir.” Wah, tersinggung aku dibuatnya.
Bukannya aku tak mau memberi Iing uang jajan untuk jalan-jalan. Kepercayaanku belum pulih sepenuhnya atas sikapnya. Ia pernah berbohong dan menurutku itu pengkhianatan kepercayaan. Kata Pak Ncu: “Itu kan kesalahan kecil.” Oh, No! Akalku bisa mengerti itu tapi hatiku tidak! Sakit tahu!
Aku resah dengan perilaku Iing dan aku resah dengan kekhawatiranku sendiri. Aku ingin tak memedulikannya, namun tak bisa. Terkadang aku berfikir: Toh, dia bukan anakku. Dan berujung pada melakukan hal semampuku, sebisaku dan sesabarku saja untuk menolongnya keluar dari tempurung yang membelenggu keponakan dari suamiku itu. Semoga aku mampu membuatnya menjadi orang yang sukses. Itu harapanku. Semoga.
Hutan Lindung, 14 Mei 2011

Tidak ada komentar: