Rabu, 22 Juni 2011

Perempuan yang Berkawan dengan Kucing, Bebek dan Ayam

PEREMPUAN itu tak pernah menghendaki kucing putih berbelang hitam di telinga, ekor dan sedikit pada kemaluan mendekati dapurnya siang itu. Tiba-tiba saja kucing liar itu ada di hadapannya ketika ia sedang membersihkan tulang dan kepala ikan asin yang akan dijadikan menu makan malam keluarganya.

Kucing itu mengeong, terus mengeong hingga perempuan itu selesai mengupas bersih daging ikan asin dari tulang dan kepalanya. Tanpa keberatan ia membiarkan kucing itu melahap semua tulang dan kepala ikan asinnya. Kebaikan perempuan itu mengundang si kucing untuk terus menyambangi dapurnya pada saat lapar terasa.
Estri, nama perempuan itu, tak juga keberatan dengan kehadiran si kucing putih berbelang hitam. Kehadiran kucing itu malah tak sengaja memberikan ruang baru pada hatinya yang mulai diraba oleh sepi dan kehampaan. Si kucing yang tak pernah diberinya nama itu selalu menjadi tempat keluh-kesah di usianya yang menua, merayap ke angka setengah abad.
***
“Ayah sengaja menyematkan nama Estri ke dalam dirimu, Nak. Dengan harapan engkau dapat menjadi istri yang baik dan setia pada suamimu kelak.”
Begitu kata ayahnya, sebelum beranjak pergi untuk menebang kayu Mahoni di pekarangan tetangga. Kata-kata ayahnya itu hingga kini tak pernah membuatnya mengerti seperti apa kriteria istri baik dan setia yang dimaksud. Karena setelah pesan tersirat itu disampaikan, telinga Estri tak lagi mendengar kalimat serupa yang keluar dari bibir ayahnya. Padahal kata-kata ayahnya tentang istri yang baik dan setia selalu ditunggunya.
Saat Estri berumur delapan tahun, ayahnya jarang di rumah. Setengah tahun atau bahkan setahun sekali beliau pulang ke rumah. Kata ibunya, ayah merantau ke Sumatera berbekal keahliannya sebagai penebang kayu. Ibu tak diizinkan ayah untuk tinggal di tanah perantauan, sebab lingkungannya tidak bagus buat ibu, Estri dan kedua adiknya yang sering ditinggal ayah. Lingkungannya masih dipenuhi rimba, kata ayahnya.
Kehidupan tanpa perlindungan seorang ayah berlangsung hingga adik bungsunya lahir, saat Estri berumur dua belas tahun. Beberapa hari setelah kelahiran adik ketiganya itu, terdengar kabar bahwa ayahnya tertikam harimau.
Mayat ayahnya tiba dua hari setelah kejadian nahas itu. Estri, ibu dan ketiga adiknya tak pernah tahu rupa wajah suami ibunya sekaligus ayah mereka untuk terakhir kalinya. Neneknya tak mengizinkan ibu dan empat anak itu membuka peti penyimpan mayat ayah mereka selama perjalanan dari Sumatera ke rumah duka. Kata Wak, kakak ayahnya, mayat itu sudah dibungkus kain mori dan tak boleh dibuka lagi. Mereka tak melawan larangan itu, meski rindu bercampur duka menyeruak dalam dada.
Kematian itu rupanya membuntukan pesan yang disampaikan ayahnya kepada Estri. Dirabanya perlahan-lahan pesan tersebut dengan menerka-nerka sekiranya kriteria istri yang baik dan setia itu ada pada sosok-sosok yang ada di sekelilingnya.
Ibu. Beliau tak pernah sekalipun melawan ayahnya yang terkadang otoriter pada perempuan yang telah melahirkannya itu. Tak pernah sekalipun ibunya mencoba melanggar perintah ayahnya meski pria pendiam itu tak selalu mendampinginya. Dilarangnya ibunya bergaul terlalu dekat dengan nenek yang selalu membela kakak-adik ibu yang senantiasa iri campur benci pada perempuan bertubuh mungil itu. Sedari kecil, ibunya memang telah dianaktirikan oleh neneknya yang lebih membela kakak perempuannya. Ibunya, sembilan bersaudara dan beliau ada pada posisi ketiga setelah kakak laki-laki dan perempuannya.
Waktu ayah Estri belum merantau, sering terdengar adu pendapat antara kedua orang tuanya yang selalu berakhir dengan isak tangis sang ibu. Entah apa yang mereka bincangkan hingga selalu berakhir seperti itu, seolah memperlihatkan dengan nyata bahwa ibunya tak berhak bersuara. Estri memilih beringsut ke dekapan selimut ketika suara ayahnya terdengar meninggi sebagai tanda detik-detik perselisihan dimulai.
Ibunya tak pernah melawan dan pernah suatu kali beliau berujar kepada sahabatnya bahwa kalau tak ingat imbalan surga yang dijanjikan Tuhan dalam setiap firman-Nya atas pengabdian terhadap suami, beliau tak akan bertahan hingga saat itu. Estri tak mengerti juga dengan ucapan ibunya itu, imbalan surga untuk pengorbanan macam apa? Yang ia tahu dari guru mengajinya, surga itu berisi segala sesuatu yang mengenakkan dan neraka isinya hanya siksaan yang terdengar menyeramkan. Apakah jikalau ibunya melawan maka beliau akan masuk neraka?
***
Sepupu. Hal serupa juga dilakukan sepupu dari pihak ayahnya, sekaligus tetangga sebelah rumahnya. Sepupunya itu tak juga pernah melawan suaminya yang ringan tangan di waktu-waktu tertentu, saat ada perilaku yang tak berkenan di hati pria yang katanya dulu sangat mencintainya. Aku bertahan demi anak-anakku, ucapnya pada Estri. Waktu itu Estri tengah duduk di sekolah menengah atas, sedikit mengerti dengan penderitaan sepupunya itu. Mengapa bertahan? Itu menjadi pertanyaan yang tak pernah terlontar dari mulutnya. Apakah ibunya juga berperilaku sama? Bertahan untuk apa?
Bibi. Adik perempuan ayahnya tersandung gila karena bapak dari ketiga putranya diam-diam selingkuh. Siapa yang menyangka paman Estri yang pendiam dan tak seringan-tangan ayah dan suami sepupunya itu tega menodai pernikahan yang telah berlangsung selama hampir sepuluh tahun.
Estri baru mempelajari ketiga sosok perempuan yang sering ditemuinya itu. Tak bisa gadis manis itu meluangkan banyak waktu untuk memikirkan pesan ayahnya yang selalu melahirkan tanya di benaknya. Ibu dan ketiga adiknya lebih menyita hari-hari yang dilaluinya. Himpitan hidup sepeninggalan tubuh dan nyawa ayahnya membuat isi kepala dan raganya diliputi pikiran-pikiran yang menggerakkannya pada cara-cara untuk tetap bisa bertahan dengan nasib. Beruntung ada saudaranya yang mau membiayai sekolahnya dengan cuma-cuma, hingga Estri bisa terlepas dari kebodohan.   
Terkadang memori-memori tentang pesan ayahnya dan seribu pertanyaan yang dilahirkannya kembali menganga saat tayangan-tayangan televisi yang hilir-mudik menyuguhkan profil-profil kekerasan dalam rumah tangga, perceraian hingga pernikahan langgeng. Meski suguhan layar datar itu semakin menambah referensinya untuk menguak pesan itu, namun bukan kepahaman yang diperolehnya, tapi ketidak-mengertian yang terus berkecamuk dalam pikirannya. Ketidakmengertian akan sikap istri-istri terhadap suami mereka, suami-suami terhadap istri mereka, suami-suami dan istri-istri terhadap anak mereka, anak-anak terhadap ayah-ibu mereka.
Dan ia tak lagi mempedulikan pesan ayahnya itu, ketika dirinya disibukkan oleh bayangan-bayangan seorang pria yang membuyarkan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini berkecamuk dalam pikirannya. Tanpa disadari pula, ia mulai mencoba mengerti keputusan-keputusan perempuan seperti ibunya yang tetap menyendiri setelah kepergian ayah hingga akhir hanyatnya. Bertahan untuk sesuatu yang dianggapnya benar: keyakinan.
***
Di umurnya yang hampir memasuki kepala lima, pesan itu kembali menelisik hati Estri. Kala suaminya disibukkan oleh aktivitas luar rumah dan anak-anaknya beranjak dewasa. Ia dilanda sepi dan luka.
Sebelumnya Estri tak pernah merasa sesepi dan penuh luka seperti saat dirinya benar-benar sendiri di dalam rumah yang dibangun oleh hasil keringatnya bersama ayah ketiga anaknya itu. Dulu, ia pernah punya usaha warung makan dekat rumahnya. Usaha itu terpaksa terhenti karena tenaganya tak lagi mampu digerakkan dari subuh hingga malam hari.
“Hatiku terluka. Lima hari yang lalu, orang-orang kampung mengeroyok salah satu anak kosku hingga babak belur. Akhirnya anak itu hilang entah ke mana. Kutahu dari sepupuku bahwa dalang pengeroyokan itu suamiku. Dia cemburu atas kedekatanku dengan anak muda yang telah kos di komplek rumahku selama enam tahun itu. Aku tak mengerti dengan kelakuan suamiku. Padahal ia tahu, anak-anak kosku yang berjumlah enam itu semua sudah kuanggap seperti anak sendiri.”
Estri berucap pada kucing putih belang hitam yang diberinya seekor ikan bawal goreng.
“Makanlah pus, ikan ini jatahmu. Tidak ada yang memakannya lagi. Aku pun tidak.”
Perempuan berhidung mancung itu menghela nafas sambil berucap pada kucing yang lahap menyantap daging bawal: “Ya memang, anak berperawakan tinggi putih itu yang paling dekat denganku. Sebab sering kali ia menyisihkan penghasilannya untukku dan gadis kecilku yang beberapa tahun terahir ini jarang menikmati hasil jerih payah suamiku. Cemburu itu telah membawa malapetaka buat anak lanangku. Apakah buatku juga? Entahlah…”
Kucing itu mendongakkan kepalanya, menatap Estri, seakan tahu penderitaan majikan barunya itu.
“Tak usah kau hiraukan ucapanku pus, makanlah dengan tenang,” ucap Estri pada kucing putih belang hitam itu.
***
Kejadian pengusiran paksa anak kos yang usianya tiga tahun di bawah anak perempuan keduanya itu memunculkan citra buruk warga kampung terhadap dirinya. Sempat beberapa hari mereka tak memberikan senyum untuknya. Itu menyakitkan dan perasaan itu disampaikannya kepada bebek yang mulai terbiasa memakan nasi dan sayur sisa makanan hari sebelumnya. Itu dilakukannya hampir setiap hari di selokan, tak jauh dari pintu dapurnya. Menunggui kucing atau bebek yang sedang menyantap makanan yang diberikannya.
“Aku dibilang pelacur sama mamah mertuaku. Wak Haji yang katanya orang alim itu meludahiku ketika aku hendak mengantar gadis kecilku mengaji. Tiba-tiba Bu Prapti memasang muka cemberut di depan warungnya, tempat biasa aku berbelanja. Mukanya itu membuatku enggan mendekati warungnya lagi dan memilih berbelanja ke pasar. Sungguh, tak mengenakkan rasanya, dihakimi orang sekampung. Ah, mungkin itu perasaanku saja.”
Estri terdiam sejenak, matanya tertuju pada bebek dengan kelima anaknya, pikirannya menerawang, tangannya mengorek-orek tanah yang dipijaknya dengan buluh.
            “Habiskanlah makanan itu bek, biar anak-anakmu lekas besar dan pemilikmu menjadi senang karenanya. Pemilikmu itu juga salah satu orang yang membeciku atas kejadian yang mereka tuduhkan padaku. Berselingkuh dengan anak kosku. Aku bukan pedofil, tante girang atau apalah seperti yang didakwakan mereka. Aku juga tak berminat dengan anak yang seusia dengan anak perempuanku. Mereka sudah seperti anak kandungku, bahkan mungkin melebihi. Anak lanang itu selalu ingat wanita yang tak sempurna ini.” Suaranya parau saat mengucapkan kalimat-kalimat itu.
***
Belum lagi pilu hatinya terobati, tiba-tiba anak bungsunya yang baru memasuki kelas lima Sekolah Dasar menangis sesenggukan sambil berlari meraih pundak Estri.
“Ada apa nak?” katanya penuh tanya.
Tak ada jawaban dari bibir mungil gadis kecilnya. Kediaman itu berlangsung hampir seminggu lamanya. Estri menjadi kebingungan dibuatnya. Gadis kecilnya tak mau berangkat sekolah sejak tangisan perih itu keluar dari mata dan hatinya. Ketika Estri menanyakan apa alasan anaknya tak mau sekolah, gadis kecilnya itu hanya menjawab dalam secarik kertas yang bertuliskan: malu.
***
Bebek putih dengan kelima anaknya jadi langganan Estri di pagi hari yang sebelumnya telah ada si kucing di siang atau sore hari. Bebek itu selalu menyantap sisa-sisa masakan Estri yang tak pernah habis pada hari sebelumnya.
Sejak peristiwa pengeroyokan, suaminya selalu pulang malam dan anak sulungnya tak lagi tinggal di rumah. Anak perempuan yang ikut mensponsori pengeroyokan itu tak berani tinggal bersama Estri. Adik ayahnya yang menampung putri sulungnya itu hingga pernikahannya dengan seorang pemuda berlangsung sebulan pasca peristiwa itu. Sedangkan anak keduanya sibuk dengan kariernya di Surabaya. Rumah Estri tak seramai dulu. Dan masakan yang telah susah payah dibuatnya selalu berakhir di mulut si kucing atau bebek dengan kelima anaknya.
“Bek, gadis kecilku melihat ayahnya bermesraan dengan ibu teman sekelasnya. Anak itu melihat dengan mata kepalanya sendiri. Di depan pintu gerbang sekolahnya. Adegan itu tak seharusnya dilihat oleh anak sekecil dia. Dia malu dan tak mau ke sekolah. Apa yang harus kuperbuat? Mengatakan bahwa ayahnya hanya bercanda dengan teman perempuannya itu? Dia masih belia, tak seharusnya pikiran-pikiran itu mengganggunya. Aku bersusah payah menyembunyikan itu dengan aktivitas-aktivitasnya di sekolah dan seabreg les yang diikutinya. Ternyata sia-sia. Bangkai itu tercium juga. Aku terluka.”
Estri tak kuasa menghentikan laju air mata yang ia tahan selama suaminya berselingkuh dengan ibu teman putri bungsunya. Lima tahun ia menahannya.
Di sudut pintu, gadis kecilnya ikut merasakan pahit hati ibunya yang sedari tadi bicara pada bebek dengan kelima anaknya di pinggir selokan.
“Tak usah bersedih ibu, aku besok akan kembali ke sekolah,” kata gadis kecil itu sembari memeluk punggung ibunya.
“Maafkan aku anakku. Ibumu menjadi gila begini. Tak ada lagi yang mau mendengarkan ibu, Nak. Ayah dan kakak sulungmu tak lagi sudi bicara denganku. Kakak keduamu selalu marah-marah bila ibu ingin curhat. Mungkin karena ibu tak tahu waktu, ketika mengajaknya membagi hati pada ibu. Kakak-kakakmu yang tinggal di kos berangsur-angsur pergi, meninggalkan ibu sejak pengeroyokan itu. Dan kau belum layak mendengarkan keluh-kesah ibu. Ibu tak ingin hatimu ikut terluka. Hanya kucing, bebek dan ayam itulah yang  jadi lawan bicara ibu. Ibu tak mampu menjadi istri yang baik dan setia seperti pesan kakekmu. Ibu juga tak sanggup menjadi ibu yang baik buatmu dan kedua kakakmu. Maafkan ibu, Nak. Kau tak malu punya ibu yang gila seperti ibumu ini kan?”
Keduanya menangis beberapa menit lamanya. Estri membalikkan tubuhnya dan mengelus kepala gadis kecilnya itu. Estri lekas beranjak ke dapur mengambil sisa makanan yang tak habis dilahap oleh gadis kecilnya untuk diberikan pada beberapa ekor ayam yang baru saja datang. Lalu ibu dan anak itu memandang perilaku dua jenis binatang itu tanpa saling berucap.

Sarolangun, Maret-Juni 2009

Tidak ada komentar: