Aku manusia yang penuh dosa. Makhluk yang tersesat. Tahu cara kembali namun tak juga beranjak pergi dari kegelapan yang menyelimuti.
Kesedihan ini sangat menyiksa. Tak ada manusia tepat yang bisa mendengarkanku. Pada siapa lagi aku harus bercerita, untuk lapangkan penat di dada.
Semua terasa tak adil. Bukan, bukannya aku menyalahkan Tuhan. Tuhan sudah sangat baik padaku dengan hembusan nafas ini. Tapi aku tak tahu siapa yang harus kupersalahkan. Diriku? Tak kuasa aku menyalahkan diriku sendiri yang malang ini, apalagi manusia lain. Menyalahkan takdir? Sama saja aku menyalahkan Tuhan. Artinya aku tak boleh menyalahkan siapapun.
Seandainya aku bisa berkomunikasi dengan Tuhan layaknya aku berkomunakasi dengan manusia, aku akan menangis, bercerita dan meminta-Nya memelukku. Sayangnya, komunikasi itu hanya banyangan saja, bukan sesuatu yang nyata.
Ketika manusia menciptakan media untuk mengungkapkan rasa yang ada, sebagian manusia tak menyukainya. Dituduhnya aku menyebarkan aibku sendiri, padahal mereka tidak tahu persis apa yang sedang terjadi pada diriku. Jika mulut manusia bisa dibungkam dalam persoalan sepele seperti itu, mungkin aku tak akan seterpuruk ini. Telingaku tak mungkin kutulikan, dan mataku tak mungkin kubutakan. Aku pasti mendengarkan dan membaca kritikan manusia lain. Aku kasihan pada diriku dan manusia-manusia lain yang bernasib sepertiku, yang tak memiliki seseorang yang mau mendengarkan, menemani dan memeluknya di titik terendahnya.
Akhirnya, ia pun hanya bisa dengarkan lagu-lagu kesedihan sembari tuliskan kata-kata perandaian.
Kesedihan ini sangat menyiksa. Tak ada manusia tepat yang bisa mendengarkanku. Pada siapa lagi aku harus bercerita, untuk lapangkan penat di dada.
Semua terasa tak adil. Bukan, bukannya aku menyalahkan Tuhan. Tuhan sudah sangat baik padaku dengan hembusan nafas ini. Tapi aku tak tahu siapa yang harus kupersalahkan. Diriku? Tak kuasa aku menyalahkan diriku sendiri yang malang ini, apalagi manusia lain. Menyalahkan takdir? Sama saja aku menyalahkan Tuhan. Artinya aku tak boleh menyalahkan siapapun.
Seandainya aku bisa berkomunikasi dengan Tuhan layaknya aku berkomunakasi dengan manusia, aku akan menangis, bercerita dan meminta-Nya memelukku. Sayangnya, komunikasi itu hanya banyangan saja, bukan sesuatu yang nyata.
Ketika manusia menciptakan media untuk mengungkapkan rasa yang ada, sebagian manusia tak menyukainya. Dituduhnya aku menyebarkan aibku sendiri, padahal mereka tidak tahu persis apa yang sedang terjadi pada diriku. Jika mulut manusia bisa dibungkam dalam persoalan sepele seperti itu, mungkin aku tak akan seterpuruk ini. Telingaku tak mungkin kutulikan, dan mataku tak mungkin kubutakan. Aku pasti mendengarkan dan membaca kritikan manusia lain. Aku kasihan pada diriku dan manusia-manusia lain yang bernasib sepertiku, yang tak memiliki seseorang yang mau mendengarkan, menemani dan memeluknya di titik terendahnya.
Akhirnya, ia pun hanya bisa dengarkan lagu-lagu kesedihan sembari tuliskan kata-kata perandaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar