Menelusuri suatu hal yang membuat penasaran memang sangat mengasyikkan. Siang ini, sehabis bertandang ke sekolah di saat libur akhir tahun pelajaran, aku mampir selama dua jam di perpustakaan daerah Batanghari. Dibandingkan pertama kali aku menyambanginya, rumah buku itu kondisinya lebih baik. Sudah banyak buku-buku baru yang tertata rapi di sana. Namun, sangat disayangkan buku-buku terbitan beberapa puluh tahun silam teronggok rapi di lantai antara dua rak buku. Rak buku sejarah terisi dengan buku-buku sejarah terbitan baru. Hatiku berkata bahwa aku harus membongkar onggokan buku lama itu, pasti ada sesuatu di sana. Ternyata benar, Tak sampai 50 buah buku proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah yang dihimpun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1984 tersusun dari bawah ke atas. Kuangkat satu persatu tumpukan buku itu. Mata dan tanganku langsung terhenti pada sebuah buku proyek berjudul Tambo Sakti Alam Kerinci jilid 1. Kubuka-buka sejenak, lalu kulanjutkan membongkar. Selain tambo itu, kuambil dua lainnya.
Buku Tambo itu rupanya ada 5 jilid, tapi yang kutemui hanya jilid 1, yang lain tak tahu rimbanya, mungkin karena tidak tersimpan dengan baik. Berdasarkan susunan Tambo dalam proyek di masa Orde Baru ini, jilid 1 berisi tentang sistem dan tata cara adat Kerinci; jilid 2 tentang kebudayaan rohani dan jasmani orang Kerinci; jilid 3 tentang sejarah Kerinci dari masa ke masa; jilid 4 tentang seni budaya Kerinci (dokumentasi); serta jilid 5 tentang salinan prasasti kuno Kerinci.
Aku berharap bisa mendapat jawaban atas pertanyaan yang selama ini terus tertanam rapi di benakku: Ruang Lingkup Wilayah dan Budaya Kerinci di Masa Lampau. Ya, aku mendapat sedikit jawaban dari buku itu, meski sifatnya masih sementara. Di buku itu tertulis bahwa Kerinci masa lampau terbagi-bagi dalam beberapa hasil kerapatan (musyawarah) yang dilakukan berkali-kali. Di buku itu dilakukan kerapatan enam kali, tetapi aku yakin ada kerapatan lagi setelah itu hingga membentuk wilayah Kerinci sekarang ini.
Halaman 19-20 menjelaskan kerapatan ketiga di Tanah Selembu, Kerinci Rendah, perbatasan antara Kerinci dengan Jambi. Kerapatan ini dihadiri oleh orang Adat Kerinci dan Jambi. Keputusan dari kerapatan ketiga menetapkan Depati Yang Bertujuh (hasil kerapatan sebelumnya) di Kerinci, yaitu:
Pembagian wilayah itu dilakukan dengan menghanguskan (mungkin memotong/membakar) kerbau sembilan ekor dan beras seratus gantang (1 gantang sama dengan 1,6 kg atau 4 liter).Buku Tambo itu rupanya ada 5 jilid, tapi yang kutemui hanya jilid 1, yang lain tak tahu rimbanya, mungkin karena tidak tersimpan dengan baik. Berdasarkan susunan Tambo dalam proyek di masa Orde Baru ini, jilid 1 berisi tentang sistem dan tata cara adat Kerinci; jilid 2 tentang kebudayaan rohani dan jasmani orang Kerinci; jilid 3 tentang sejarah Kerinci dari masa ke masa; jilid 4 tentang seni budaya Kerinci (dokumentasi); serta jilid 5 tentang salinan prasasti kuno Kerinci.
Aku berharap bisa mendapat jawaban atas pertanyaan yang selama ini terus tertanam rapi di benakku: Ruang Lingkup Wilayah dan Budaya Kerinci di Masa Lampau. Ya, aku mendapat sedikit jawaban dari buku itu, meski sifatnya masih sementara. Di buku itu tertulis bahwa Kerinci masa lampau terbagi-bagi dalam beberapa hasil kerapatan (musyawarah) yang dilakukan berkali-kali. Di buku itu dilakukan kerapatan enam kali, tetapi aku yakin ada kerapatan lagi setelah itu hingga membentuk wilayah Kerinci sekarang ini.
Halaman 19-20 menjelaskan kerapatan ketiga di Tanah Selembu, Kerinci Rendah, perbatasan antara Kerinci dengan Jambi. Kerapatan ini dihadiri oleh orang Adat Kerinci dan Jambi. Keputusan dari kerapatan ketiga menetapkan Depati Yang Bertujuh (hasil kerapatan sebelumnya) di Kerinci, yaitu:
- Empat orang Depati menguasai Kerinci Tinggi, yaitu daerah kabupaten Kerinci waktu itu. Keempat Depati itu adalah : (1) Depati Atur Bumi di Hiang; (2) Depati Muara Langkap di Temiai; Depati Rencong Telang di Pulau Sangkar; serta (4) Depati Biang Sari di Pengasih.
- Tiga orang di Baruh, Kerinci Rendah, daerah Kabupaten Sarolangun Bangko waktu buku itu ditulis (belum kutemukan di mana tepatnya daerah itu sekarang karena pemekaran 1999, Sarolangun Bangko dipisah menjadi 2 kabupaten), ialah: (1) Depati Setio Rajo di Lubuk Barung; (2) Depati Setio Beti di Nolo; serta (3) Depati Setio Nyato di Tanah Renah.
- Daerah Depati Atur Bumi, daerah Tebing Tinggi, terus ke Arus Dalam, sebelah Daun Sentiung dan Lago Seli, terus ke Pauh Masam Sebelah, terus ke Ladeh Gunung Merapi, berbatas dengan Tuanku Bergombak Putih Berjanggut Merah, tinggal di Sungai Pagu dan Dipertuan Rajo Bungsu, tinggal di Durian Terung Lukah Gedang.
- Daerah Depati Muara Langkup adalah dari Temilai terus ke Pangkalan Jambu.
- Daerah Depati Rencong Telang ialah dari Pulau Sangkar terus ke Aur Telentang Air Liki.
- Daerah Depati Biang Sari, dari Pengasih terus ke Serampas Rendah dan Serampas Tinggi.
Dari situlah kemudian aku berpikir bahwa kekuasaan Kerinci dahulunya sangat luas, tak sesempit wilayah Kerinci saat ini. Hal itu dikarenakan aturan-aturan administrasi modern yang kemudian memeta-metakan wilayah Kerinci. Pada akhirya, wilayah yang dahulunya merupakan wilayah Kerinci, sekarang bukan lagi disebut Kerinci. Misalnya, wilayah Serampas yang pada kerapatan ketiga masuk wilayah Depati Biang Sari, saat ini bukan di wilayah Kabupaten Kerinci melainkan Kabupaten Merangin, Kecamatan Jangkat dan Lembah Masurai.
Jika dilihat dari ciri-ciri manusia, budaya serta bahasa, mereka tak jauh berbeda dengan masyarakat Kerinci di beberapa wilayah. Tepatnya aku belum bisa memastikan, tetapi dari beberapa dialek bahasa orang Kerinci yang kutemui ada yang bahasanya sangat mirip dengan bahasa orang Serampas.
Beberapa kali diskusi kulayangkan kepada suamiku yang keturunan orang Serampas Rendah bahwa wilayah dan budaya tanah kelahirannya kemungkinan masuk dalam ranah wilayah dan budaya Kerinci di zaman dahulu. Tetapi yang kutangkap dari diskusi itu ialah ia tak mau disebut orang Kerinci karena nenek moyangnya, Sigindo Kuning, berasal dari Bengkulu. Sikapnya yang seperti itu membuatku semakin penasaran dan mencoba merunut sejarah Kerinci lebih dalam lagi terutama dari segi wilayah. Aku harus merunut lagi tentang asal-usul pemerintahan Sigindo ini, apakah lebih tua dari pemerintahan Depati yang diputuskan pada kerapatan ketiga. Aku tak ingin memaksanya untuk mengakui keyakinanku, tetapi lebih pada keingintahuanku tentang sejarah Kerinci. Mau mengakui atau tidak itu keputusan pribadi, meski itu akan sangat disayangkan jika ternyata terbukti. Permasalahannya ialah siapa lagi yang akan menghidupkan budaya sekelompok umat manusia jika bukan manusia itu sendiri. Ya, itu persoalan dalam diskusi kecil antara aku dan suamiku.
Kesimpulan sementaraku dari penelusuran ini bahwa dahulu Kerinci tak hanya menjadi identitas wilayah saja melainkan budaya, tetapi setelah adanya modernisasi, Kerinci menjadi terbelah yaitu hanya sebatas identitas wilayah yang sempit yaitu wilayah Kabupaten Kerinci saat ini. Seharusnya Kerinci tetap dijadikan sebagai sebuah identitas budaya juga, sama halnya dengan Melayu yang saat ini termodernisasi menjadi beberapa negara. Sayang sekali aku belum bisa membuktikan tentang identitas Kerinci ini secara lebih objektif, tak hanya sekedar prasangka. Setidaknya tulisan ini menjadi sebuah awal baru dalam usaha merangkai Kerinci dulu dan sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar