Tanggal 23 Oktober 2011, hari pertama aku menginjakkan kaki di candi Muara Jambi (ketika acara di Sungai Tapa pada Februari 2011 tak jadi kesana adalah hal yang sagat mengecewakan bagiku, tapi aku hanya diam karena terus terang malu belum pernah mengunjungi tempat itu, hehehe). Tepat tiga tahun setelah menetap di Jambi. Harusnya aku bisa mengunjunginya lebih awal dari itu, tetapi suamiku tak sempat mengantar kesana. Ia hanya berjanji saja hingga aku pergi kesana tanpanya, bersama-sama murid-muridku dalam rangka studi lapangan kelas XI. Janji itu akhirnya ditunaikannya. Ini kunjungan pertama sauamiku ke bangunan milik bangsa nenek moyangnya. Meragukan memang ke-Jambi-annya, ke candi Muara Jambi aja belum pernah, apalagi tahu sejarahnya, hahaha (just kidding).
Inilah pintu utama candi Kedaton. Candi ini jarang terekspos dibandingkan candi Gumpung, Tinggi dan Tinggi 1 yang terletak di komplek utama. Aku sajikan sebuah pintu untuk kalian sebagai ucapan selamat datang. Keramahan akan membuat nyaman dan menyisakan kerinduan tuk kembali ke situs candi terluas di Indonesia ini. Jangan harap ucapan selamat datang didengar dari petugas di sana karena itu jarang terjadi. Ucapan itu lebih pada hati kita yang melihat berpuluh-puluh pintu candi yang selalu terbuka untuk pengunjung. Jika kalimat itu sudah tersematkan dalam hati, alhasil kalian akan kembali kesini.
Kunjunganku yang kedua untuk memotret gambar-gambar candi dan menelusuri situsnya. Kunjungan pertamaku tak memuaskan karena aku tak menyangka bahwa situs itu seluas itu. Aku hanya berputar-putar di komplek utama, ternyata masih ada Bukit Perak nun jauh di sana. Candi Koto Mahligai dan Bukit Perak inilah yang tak berhasil kutapaki pada kunjungan kedua maupun ketiga.
Aku berhasil mengabadikan gambar semua candi kecuali candi Teluk 1, Teluk 2 dan Koto Mahligai. Waktu tak mengizinkanku menjelajah ke sana. Biarlah, setidaknya aku mendapatkan gambar separuh lebih dari candi itu, jadi ketika aku berbicara soal candi Muara Jambi tak sekedar omong doang. Aku benar-benar menyambanginya.
Candi favoritku adalah Kedaton. Lihatlah poseku di sana, bak turis saja, turis domestik tentunya, hehehe...
Kenapa favorit? Dalam candi itu penuh dengan kerikil-kerikil putih yang disinyalir berasal dari sungai Batnghari. Konon ada mitosnya di kalangan masyarakat sekitar, aku belum tahu mitosnya seperti apa, masih penasaran ini. Yang jelas ketertarikanku terhadap keberadaan kerikil-kerikil itu karena pertanyaan yang muncul di otakku: untuk apa? Semacam gudang penyimpanan kerikil-kerikil, tapi untuk apa? Ada yang bisa menjawab? Seandainya aku punya waktu banyak, pasti kucari jawaban itu sendiri, di google tak ada soalnya.
Foto-foto ini akan kuselipkan dalam modul yang akan aku susun. Sudah dari awal menjadi tenaga pengajar bahwa sangat ingin membuat modul pelajaran sejarah sendiri yang disesuaikan dengan sejarah lokak disini. Modul ini akan kubuat lebih praktis dan lebih mengena soal sejarah Jambi sehingga generasi muda Jambi menjadi tahu sejarahnya. Ini terpikir dalam otakku karena melihat kenyataan bahwa murid-muridku banyak tak tahu sejarah tanah kelahirannya.
Wajar sebenarnya, mereka tak banyak tahu sebab buku sejarah terlalu umum, tak menyuguhkan kearifan lokal, terlalu Jawasentris, meski itu penting karena pusat negara ini ada di Jawa. Selain itu, sejarah Jambi juga belum tersusun secara runtut. Banyak fakata-fakta yang belum terdeteksi, misalkan perpindahan antara zaman prasejarah dengan sejarah, zaman Hindu-Buddha dengan Islam, asal-usul Muara Jambi sendiri masi terasa samar. Keterbatasan sumber dan sejarawan yang benar-benar profesional menuliskan sejarah negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini merupakan hambatan yang cukup berarti.
Aku berusaha meraba-raba tentang sejarah Jambi, sangat menarik, banyak misteri yang belum terkuak. Ingin rasanya aku membukanya. Kadang malam-malamku menjadi resah, gelisah bahkan menjadi galau gara-gara memikirkan ini. Lebay memang kelihatannya, tapi itu yang kurasakan. Bagaimana tidak perasaan itu muncul, idealisme-idealisme muncul tanpa dibarengi situasi dan kondisi yang memungkinkan. Apa tak bikin gila namanya? Seperti cinta tak berbalas rasanya.
Keresahan terdalam adalah soal situs Muara Jambi. Setelah sedikit
menelisik, terdeteksi banyak kepentingan di dalamnya. Kepentingan itu
samar sekali, sampai-sampai aku hanya bisa menduga-duga saja karena membuktikannya sangatlah susah, negeri ini terlalu bedebah jadi antara nyata dengan kamuflase tampak sama. Aku sampai sedikit frustasi dibuatnya dan akhirnya, aku tak banyak berbuat. Alasannya sederhana saja, tak mau masuk dalam putaran kepentingan dan yang utama: AKU SEORANG PEGAWAI NEGERI. Ini yang sangat menyakitkan. Profesi yang dihargai mati oleh pemerintah ini membuatku bak memakan simalakama. Aku butuh pekerjaan itu dan aku butuh menyalurkan hati nuraniku. Dan, aku memilih menjadi pegawai yang 'baik'. Toh, bukan berarti tak mampu berbuat apapun, aku masih bisa menulis, setidaknya ini pelipur lara atas keprihatinanku akan sejarah dan budaya Jambi. Inilah sisi pragmatisku, mungkin.
Daripada mikir yang susah teraih dalam waktu dekat ini, mending mikir cara-cara mempertahankan sejarah dan budaya Jambi melalui jalur yang aku punya: pendidikan. Modul dan studi lapangan itulah yang terdekat. Ini sebagai wujud cintaku kepada negeri kelahiran suamiku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar