Aku Galau... Ketularan iklan salah satu seluler dengan warna andalannya: MERAH. Entahlah, apa lagi ikutan trend alay GALAU atau memang galau beneran, perasaan ya sering galau. Awal tahun ini beban tahun sebelumnya sirna sudah. Pertengahan hingga akhir tahun 2011 adalah puncak dari rentetan permasalahan keluarga yang sangat menguras tenaga. Aku sampai terkapar gara-gara maag-ku kambuh setelah empat tahun. Awal tahun 2012 ini sisa-sisa permasalahan masih ada, namun sudah banyak berkurang. Ya, masih ada sedikit batu kerikil yang sempat membuat krisis ekonomi melanda keluarga kecilku.
Suamiku menganggur selama satu bulan. Untung aja satu bulan, kalau berbulan-bulan? Oh God, I don't know what I do for this situation. Gara-garanya sich, dia sudah muak dengan perusahaan media tempatnya bekerja. Gimana tak muak? Tekanan luar biasa, tak ada cuti (adanya izin), gaji tak memadai, banyak sekali menerima uang 'abu-abu', rolling kesana-kemari seperti anak kucing boyongan, tak tahu asalnya gaji tiba-tiba menyusut karena mengancam mundur, tak ada jaminan kerja (jamsostek atau sejenisnya), askes dipotong dari gaji, dan sebagainya. Itu keburukannya, ada juga kebaikannya, akses ke pemerintah maupun swasta lumayan mulus karena fenomena 'phobia' wartawan masih menjangkit di Jambi (mungkin dia daerah lain di Indonesia juga gitu, bahkan mungkin di dunia juga).
Profesi wartawa menjadi ladang subur untuk meraup pundi-pundi lewat penguasa dan pengusaha. Kemudahan inilah yang membuat citra wartawan menjadi buruk, semacam mesin pengerat, apalagi wartawan gadungan (mingguan) yang sering dikenal wartawan bodrex (bikin pening kepala). News sering kali ditunggangi oleh wartawan seperti mereka itu untuk mencari tambahan (gaji tak mencukupi, bahkan ada yang tak bergaji alias mengandalkan advetorial dan society). Sesekali ada juga pihak-pihak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan ketika news itu menjadi headline, seringnya masalah perusahaan-perusahaan. Menyebalkannya, wakil rakyatlah yang melakukannya. Dunia makin gila, tak peduli duit halal atau haram yang pentig hantam.
Ada media yang baru berusia batita datang membawa angin segar untuk 'mafia' dalam dunia kewartawanan. Tapi itu tak bisa menghapuskan budaya 'terimakasih' dan 'amplop' di kalangan mereka. Omong kosong kalau wartawan mereka bener-bener bersih, karena perusahaan media itu merekrut karyawan sebagian dari orang-orang grupnya koran besutan menteri BUMN. Mental-mental lama masih ada walaupun selanjutnya mereka menyuarakan: 'no envelope for journalist'. Terkadang ada rasa muak ketika ada salah satu dari mereka yang nampaknya meninggalkan kebiasaan buruk itu, tetapi diam-diam melakukannya.
Pokoknya banyaklah suka-dukanya jadi wartawan, eh aku kan istri wartawan. Biarpun cuma istri tapi kecipratan juga. Tiga tahun jadi istri wartawan cukup memberikan pengalaman yang sungguh luar biasa, terutama kebobrokannya. Biarpun begitu, aku tidak antipati dengan dunia ini bahkan pernah menyarankan kepada suami: jika ingin berkecimpung di dunia jurnalistik, berkarierlah dengan baik, pertahankan idealisme meskipun terkadang harus berbenturan dengan keadaan yang membuat kita menjadi pragmatis, setidaknya kejujuran dan kebenaran jadi patokan. Dan jangan pernah mengeluh. Mengeluh ada batasnya, jika terus-terusan lebih baik keluar, karena kita sudah tidak merasakan kenikmatan bekerja di situ.
Itu pernah kukatakan pada tahun 2009, saat suamiku bekerja di Sarolangun, sebuah kabupaten di Jambi yang berbatasan dengan Sumatera Selatan dan memiliki tipe masyarakat yang cukup keras. Suamiku sering mendapat ancaman beberapa pihak dan mendapat banyak tekanan dari kantor. Delapan bulan ditempatkan di wilayah yang membuatku sangat tidak nyaman. Akhirnya kami kembali ke Batanghari, kabupaten pertama yang aku singgahi di Jambi, wilayah yang penuh kenangan dan tempat rumah kami berdiri.
Suamiku bertahan bekerja di perusahaan media itu selama empat tahun dua bulan, dari November 2007 hingga Desember 2011. Ia mau bertahan di sana karena ada beberapa faktor, salah satunya memindahkanku ke sekolah yang dekat dengan rumah sebab ia tahu aku sangat mudah capek dan sakit. Badanku ringkih dan ia tak tega melihatku menderita di kala sakit. Setelah berhasil memindahkanku, keengganan menerima 'amplop' dan duit 'abu-abu' serta tekanan pimpinan, suamiku membulatkan tekad untuk mengakhiri karier yang sebenarnya sangat dicintai itu di akhir 2011. Praktis, ia siap menganggur di awal 2012.
Ada rencana membuat usaha jamur dan beternak ayam untuk menggantikan profesi wartawan, rupanya di akhir bulan Januari ia diterima di sebuah LSM yang terkenal baik di Jambi. Rencana itu buyar padahal aku sudah merelakan gajiku terpotong separuh lebih demi mewujudkannya. Soal kepindahan suamiku di LSM ini ada beberapa kawan yang menyayangkan karena mereka tak tahu banyak soal LSM satu ini, bahkan ada yang menilai 'miring'. Kami hanya diam. Aku pun merasa suamiku menemukan kenyamanan di sana, setidaknya keluhan di kantor lama belum ditemukan di kantor baru. Kerjanya pun tak jauh berbeda dengan pekerjaan wartawan, meliput di beberapa tempat dan kegiatan, hanya saja ini liputan khusus. Bahkan suamiku mengusulkan media di LSM itu supaya berbadan hukum sehingga ia dan rekan kerjanya di bagian Kominfo memiliki kartu pers layaknya wartawan. Suamiku melihat ada kendala yang berarti soal ini gara-gara tak ada kartu pers. Aku sampai bilang ke dia: bilang aja dari Alam Raya, kan jelas itu majalah walaupun belum berbadan hukum dan publikasi terbatas. Dari soal gaji dan profesionalitas cukup terjamin. Mendapat askes tanpa potong gaji dan ada jamsostek yang tak pernah didapat dari kantor sebelumnya. Yang terpenting, LSM ini memperjuangkan rakyat-rayat yang dirugikan oleh beberapa pihak. Semoga ini pekerjaan yang membuatnya nyaman dan sesuai dengan hati nurani suamiku.
Itu sekelumit kegalauanku di awal tahun 2012. Berusaha hidup dalam kejujuran dan kebenaran meskipun di tengah kubangan lumpur hitam. Sulit memang. Yang dibilang sok idealis, sok bersih dan segala rupa. Tapi kami sepakat bahwa THAT'S OUR CHOICE. Hidup biasa-biasa, lebih memprioritaskan rumah dibandingkan mobil, lebih memprioritaskan buku-buku dibandingkan hape canggih, menerima sesuatu tanpa unsur paksaan, menjaga harga diri demi sebuah kemewahan, memilih posisi aman saat mengalami ancaman. Kami terkadang memilih mengalah pada nasib ketika mengancam keluarga. Tak ada yang menginginkan orang terkasih terluka atau kehilangan nyawanya bukan?
Terkadang, di saat senggang, kami mengobrol tentang enaknya jadi wartawan dengan 'fasilitas' yang kusebut tadi, bisa kaya meski tak kaya raya, minimal punya rumah, mobil dan hidup enak. Kami melihat beberapa teman memiliki indikator tersebut ketika bertahan pada profesi tersebut. Jika kami mau, mungkin tak cuma rumah kredit dan sepeda motor saja yang menjadi barang mewah kami, bisa lebih dari itu. Bagaimana tidak, tiga tahun lebih menikah, kami belum dikaruniai anak, tentunya penghasilan kami 'utuh' kan?
Lagi-lagi hidup adalah pilihan. Aku seringkali merasa senang membantu orang, jadi sedikit royal pada mereka apalagi jika ada yang kesusahan, karennya kami tak pernah bisa menabung, selalu saja gali lobang tutup lobang. Meski begitu, aku tetap punya prioritas seperti yang kusebutkan di atas. Proritas penting menurutku, tak ada prioritas hidup terasa tanpa arah. Saat ini prioritasku adalah mengatasi krisis ekonomi. Setidaknya minimal 1,5 tahun aku sudah harus beranjak dari kondisi itu. Kali ini aku mungkin akan lebih memprioritaskan pekerjaanku sebagai guru dibandingkan mewujudkan mimpi-mimpiku. Tentunya aku mempunyai banyak pertimbangan, salah satunya yang terbesar adalah menjadi pegawai negeri dengan kinerja yang profesional sesuai dengan tupoksiku. Aku sering malu dengan diriku sendiri dan kelakuan pegawai-pegawai negeri di Indonesia. Aku tak akan membantah jikalau kebanyakan pegawai negeri kerjanya tak beres, semau sendiri padahal fasilitas tercukupi. Aku sendiri merasa belum maksimal mengabdi kepada negara melalui profesiku. Aku akui, aku sangat santai meskipun aku serius dalam bekerja.
Keputusan itu adalah bahan instropeksiku di awal tahun 2012, hasil dari kegalauan dari apa yang aku alami selama di Jambi. Ada banyak mimpi-mimpiku yang masih harus aku perjuangkan, sekolah ke Belanda, menyusun modul pelajaran sejarah hingga menyusun sejarah Jambi secara profesional, dan yang terpenting adalah memiliki momongan (ini bukan mimpi, tapi prioritas). Ada banyak hal yang ingin kuperbuat di tengah kegalauanku, kegalauan pemimpin negeri ini, serta kegalauan rakyat akan kenaikan BBM. Harapan akan muncul di sela-sela kegalauan yang menjadi trendsetter attitude 2012 ini. Hmmm... Kira-kira sampai kapan trend ini berakhir dan apa penggantinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar