Senin, 04 Juni 2012

DWARAPALA

1/ Pembuka tabir misteri. Menembus waktu. Nampaklah di depan matanya, rumah suci tergerus oleh besi usang. Ia tercengang. Apa gerangan? Ini waktu yang tak aku kehendaki. Ia ingin kembali bersemedi di bawah pohon bodhi. Menyucikan alam pikiran. Ia tetap sebagai penjaga pintu.

2/ Dwarapala terpejam di alam pikirannya. Ia menyusuri setapak rumah Teluk yang di alam kemudian tergerus oleh besi. Bertelanjang kaki. Membasuh ujung kaki dengan air yang mirip dengan sungai di negeri suci asal kepercayaannya. Sesaji ia layarkan dari tepian hingga pelan-pelan meninggalkannya. Lalu ia mengayuh sampan menyeberang sungai suci menuju kanal-kanal penghubung rumah-rumah suci. Sepanjang jalan ia memunguti batu-batu putih sebagai tanda bahwa ia telah banyak berucap doa sebanyak batu yang terkumpulkan. Sampan berhenti di rumah suci Koto Mahligai. Ia menyerahkan batu-batu itu pada guru yang telah menunggunya. Lalu ia menuju ke Barat, tempat tersuci dari yang paling suci.

3/ Matanya terbelalak. Ia kembali melihat besi besar dan segunung tanah hitam. Lalu ia berkata: Aku tak mau melihat lagi. Mataku akan terpejam selamanya hingga benda-benda menyeramkan itu berhenti menghantuiku. Dwarapala buta selamanya dan hidup dalam keabadiaan. Dalam kebangkitannya pun serupa wajah yang menyeramkan. Murka dengan manusia-manusia durjana. Dwarapala akan hidup dalam keabadian di ruang kegelapan.

Jambi-Muara Bulian, 4 Juni 2012

Tidak ada komentar: