Senin, 11 Juni 2012

K'un-lun Dvipantara

Sebelum menjelaskan tentang dua kata yang mungkin masih asing di telinga itu, kecuali bagi para ahli sejarah, arkeologi, fililogi dan lainnya, perlu dijelaskan lebih lanjut tentang asal-usul Nusantara.


Istilah Nusantara berdasarkan sumber yang diperoleh dari Wikipedia terdapat dalam kata-kata yang diucapkan oleh Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa dalam kitab Pararaton, yaitu: Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada : Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa. Artinya: "Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".

Dalam Kitab Negarakertagama tercantum kata-kata Nusantara (Saya juga pernah membaca bahwa kata Nusantara berasal dari kata Nusantao, tetapi lupa sumbernya). Secara morfologi, kata ini adalah kata majemuk yang diambil dari Bahasa Jawa Kuno, nusa ("pulau") dan antara (lain/seberang). Nusantara berdasarkan kitab Negarakertagama mencakup sebagian besar wilayah modern Indonesia (Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Kepulauan Maluku, dan Papua Barat) ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan. Tetapi, wilayah yang disebut sebagai Nusantara berdasarkan lampiran gambar di buku George Coedes berjudul "Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha", sedikit berbeda dengan versi yang saya ambil dari Wikipedia (Kitab Negarakertagama). Perbedaannya terletak pada Papua Barat, dalam lampiran berupa gambar yang disebut dengan Nusantara buku George Coedes, Papua Barat tidak tampak, (George Coedes, 2010 : 431).

Nusantara ternyata bukan kata yang paling tua untuk menyebut wilayah atau salah satu pulau di Indonesia saat ini, ada Svarnadwipa dan Svarnabhumi yang berarti 'tanah emas' atau 'pulau emas'. Kata itu untuk menyebut nama lain dari Nusantara (yang cakupannya lebih kecil), beberapa ahli berpendapat kata itu khusus untuk menyebut pulau Jawa dan Sumatra. Terdapat kata yang mungkin sama tuanya dengan kata itu, tetapi kata ini untuk menyebut orang yang menghuni wilayahnya, yaitu: K'un-lun dan Dvipantara.

Sekitar abad ke-3 SM, ketika Kalinga, di pantai Timur India, ditaklukkan secara kejam oleh Asoka, sebagai akibatnya menyebabkan penduduknya mengungsi secara besar-besaran. Kemungkinan ini yang disinyalir oleh para ahli sebagai penyebab orang-orang India melakukan emigrasi secara besar-besaran dan pada akhirnya menyebar ke beberapa wilayah dan melakukan 'Indianisasi'. Salah satu wilayah yang dikunjungi oleh emigran itu ialah "India Belakang". George Coedes menyebut "India Belakang" terdiri dari wilayah Nusantara (kecuali Filipina), dan Indochina atau "India di seberang Sungai Gangga", dengan Semenanjung Tanah Melayu dan Burma, tetapi tanpa Assam, (George Coedes, 2010 : 19).

Kata K'un-lun sudah ditafsirkan oleh beberapa ahli menurut versi masing-masing, salah satunya Sylvain Levi yang berpendapat bahwa kata itu padanan dari ungkapan Sanskerta Dvipantara, "masyarakat kepulauan". Lain halnya dengan Nicholaas J. Krom yang mengemukakan kemungkinan persamaan K'un-lun = Malaya, (George Coedes, 2010 : 35).

Dalam buku Coedes kata K'un-lun merupakan kata yang dipakai oleh bangsa China untuk menyebut berbagai kelompok penduduk "India Belakang". Nama tersebut muncul setelah Indianisasi dan bangsa China banyak berbicara tentang "tulisan K'un-lun" yang kemungkinan terpengaruh dari bahasa India. Dan Coedes semakin merujuk pada kemungkinan bangsa China menyebut K'un-lun dan Dvipantara pada orang Melayu Pantai dari yang disebut orang Sumatra, orang Sunda, orang Jawa, orang Madura dan orang Bali, ketika ia mengungkapkan kerangka etnologis dalam pendahuluan bukunya bahwa kelompok orang Austranesian yang merupakan dasar penduduk Nusantara. Orang-orang pantai yang disebut itulah yang telah menjadi perantara terpenting dalam menerima dan menyebarluaskan kebudayaan India di Nusantara.

Itulah alasan ketertarikan saya terhadap dua kata tersebut, selain karena kosakata yang 'aneh' juga karena keterkaitannya dengan sejarah Jambi masa Buddha. Tidak aneh jika di abad ke-7 sudah ada 'universitas' Buddha di dekat pantai barat Jambi tepatnya di kiri-kanan Sungai Batanghari (daerah Kemingking, Muaro Jambi), sebab kurun waktu dari abad ke-3 hingga abad ke-7 cukup untuk melakukan 'Indianisasi' di beberapa wilayah yang disebut "India Belakang" dengan adanya emigrasi secara besar-besaran seperti yang diungkapkan di awal.

Jadi, wilayah pantai barat Jambi merupakan wilayah daerah persebaran para emigran dari India yang kemudian menyebarkan agama Buddha dan orang yang bermukim di daerah pantai barat Jambi merupakan orang-orang yang disebut K'un-lun atau Dvipantara. Sehingga ada kemungkinan waktu itu Jambi sudah menjadi pusat perdagangan yang patut diperhitungkan (ketika awal masa Islamisasi, Sriwijaya terkenal dengan nama Zabaq, Zabay atau Sribusa, kemungkinan orang-orang Semenanjung Arab itu hanya mengenal daerah pantainya saja, sama seperti orang China), sebab menurut penjelasan Coedes bangsa China ketika proses Indianisasi ini berlangsung merasa tersaingi oleh para emigran dari India sehingga mereka menuliskannya dalam catatan. Selain itu, literatur-literatur China merupakan sumber primer yang cukup akurat untuk menggambarkan suasana Nusantara waktu itu.

Tidak ada komentar: