Rabu, 05 Maret 2008

Si 'Pacarkecilku' hingga Si 'Sastrawan Moeda'

Pacarkecilku bangun di subuh hari ketika azan datang membangunkan mimpi.
Pacarkecilku berlari ke halaman/ menadah hujan dengan botol mainan/menyimpannya di kulkas sepanjang hari/dan malamnya ia lihat di botol itu gumpalan cahaya warna-warni.
Pacarkecilku lelap tidurnya/botol pelangi dalam dekapku.
Ketika bangun ia berkata/"Tadi kau ke mana? Aku mencarimu di rerimbun taman bunga."/Aku terdiam/Sepanjang malam aku hanya berjaga di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan pelan-pelan membuka matanya.
Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati yang akan ia taburkan di atas jasadku nanti.


Sajak itu selalu mengingatkanku akan indahnya malam keakraban di Prambanan, September 2002. Kala aku menjadi mahasiswa baru, menjamah wilayah baru dalam hidupku. Tak ada yang kukenal lebih jauh dari sekedar kota Yogyakarta sebagai kota pelajar. Tak terpikirkan olehku bahwa jalan hidupku yang baru terukir di malam itu. Sajak itu disodorkan m'Yoko, pemanduku kala itu. Dari sekian kumpulan sajak karya Joko Pinurbo, pemanduku itu menyodorkan beberapa sajak untuk kubaca kala pentas seni, acara puncak hiburan malam itu. Benakku lebih memilih si 'Pacarkecilku' itu. Entahlah, kata itu terdengar manis ketika ku mengucapkannya, isinya pun mampu membuaiku di kala ku mengejanya.
Seperti biasa... musuh besarku muncul setiap ku mengekspresikan keahlian kecilku di atas panggung, nervous, demam panggung. Penjahat dalam diriku itu pun merasukiku, namun aku tertolong oleh remang-remang api unggun dan aku pun melenggang, berputar, menggerakkan seluruh tubuhku supaya tak terlihat demamku itu. Itulah pentas tunggal dari kelompok kami, akulah pemain utamanya dan teman-temanku mengiringiku dengan lagu. Lupa apa lagu yang mereka nyanyikan, 6 tahun sudah berlalu, cukup lama untuk mengingatnya di saat dilanda demam panggung. Ini secuil kisah awal perjalanan di kota penuh kenangan itu, Yogyakarta. Dan aku pun tak melewatkan sajak ini tuk kutulis dalam dyariku.
Kisah-kisah selanjutnya pun terukir berbarengan dengan karya-karya dari tanganku sendiri. Beberapa sajak amatir dan tak terpublikasikan pun lahir. Tapi... setelah itu, aku mati karya. Aku tak lagi menulis sajak, hanya sometimes. Aku tak peroleh ruh-nya.
Aku tersadar dari mati suriku itu saat ku bersua dengan orang yang tak pernah kukira akan membangunkan jiwa puitisku. Dialah simbah, si penyair yang hobby mabok. Aku tak melihat kebiasaan buruknya itu, tapi auranya mampu menyihirku untuk kembali kepada sajak-sajak yang pernah kutinggalkan. Berawal dari tumpukan-tumpukan buku yang ia kumpulkan. Aku menyisirnya dan banyak kutemukan, tak hanya sajak, novel, cerpen dan karya-karya sastra lainnya yang membuatku sangat bergairah untuk menyentuhnya. Apalagi saat itu, aku sedang gandrung dengan karya-karya Kuntowijoyo. Ku ambillah Khotbah di Atas Bukit dan aku membacanya dalam perjalanan Jakarta-Semarang-Yogyakarta-Kebumen-Purwokerto-Jakarta.
Dengannyalah, aku pun kembali diingatkan dengan si Pacarkecilku. Memori tentang si Pacarkecil kembali tersusun, ingat akan kisah konyol di suatu siang yang telah mentasbihku menjadi ratu sejarah (maybe karena mulutku yang telah memuncratkan suara untuk si Pacarkecilku) , ingat akan sahabatku Farid dan ingat akan cinta pertamaku di saat kuliah dengan kakak pemandu ospekku, menggelikan... ha..ha... Simbah, trimakasih tlah membangkitkan euforiaku! Akan kutulis dalam dyariku bahwa aku bertemu dengan Simbah, si sastrawan muda berbakat dari negeri Yogyakarta. Kelak, saat lama tak bersua, ingatlah si putri kecil ini yang selalu mendoakanmu menjadi sastrawan muda berbakat yang tak lagi hobby mabok, tapi hobby ngrokok wae, he..he...

Tidak ada komentar: