Seperti pertanyaan yang ditulis pada bahasan sebelumnya: Lebih tua mana antara pemerintahan Sigindo dengan Depati? Meski hanya berbekal sumber-sumber dari internet, setidaknya rangkaian dasar dari wilayah Kerinci sudah bisa diraba. Sumber pemerintahan Depati yang kuperoleh kemarin berasal dari Tambo Alam Kerinci yang digubah oleh Iskandar Zakaria. Walaupun kata tambo berasa dari bahasa Sanskerta, namun kebanyakan tambo dituliskan pada masa Islam.
Kamis, 20 Juni 2013
Rabu, 19 Juni 2013
Merangkai Kerinci (1): Identitas yang Terbelah
Menelusuri suatu hal yang membuat penasaran memang sangat mengasyikkan. Siang ini, sehabis bertandang ke sekolah di saat libur akhir tahun pelajaran, aku mampir selama dua jam di perpustakaan daerah Batanghari. Dibandingkan pertama kali aku menyambanginya, rumah buku itu kondisinya lebih baik. Sudah banyak buku-buku baru yang tertata rapi di sana. Namun, sangat disayangkan buku-buku terbitan beberapa puluh tahun silam teronggok rapi di lantai antara dua rak buku. Rak buku sejarah terisi dengan buku-buku sejarah terbitan baru. Hatiku berkata bahwa aku harus membongkar onggokan buku lama itu, pasti ada sesuatu di sana. Ternyata benar, Tak sampai 50 buah buku proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah yang dihimpun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1984 tersusun dari bawah ke atas. Kuangkat satu persatu tumpukan buku itu. Mata dan tanganku langsung terhenti pada sebuah buku proyek berjudul Tambo Sakti Alam Kerinci jilid 1. Kubuka-buka sejenak, lalu kulanjutkan membongkar. Selain tambo itu, kuambil dua lainnya.
Buku Tambo itu rupanya ada 5 jilid, tapi yang kutemui hanya jilid 1, yang lain tak tahu rimbanya, mungkin karena tidak tersimpan dengan baik. Berdasarkan susunan Tambo dalam proyek di masa Orde Baru ini, jilid 1 berisi tentang sistem dan tata cara adat Kerinci; jilid 2 tentang kebudayaan rohani dan jasmani orang Kerinci; jilid 3 tentang sejarah Kerinci dari masa ke masa; jilid 4 tentang seni budaya Kerinci (dokumentasi); serta jilid 5 tentang salinan prasasti kuno Kerinci.
Buku Tambo itu rupanya ada 5 jilid, tapi yang kutemui hanya jilid 1, yang lain tak tahu rimbanya, mungkin karena tidak tersimpan dengan baik. Berdasarkan susunan Tambo dalam proyek di masa Orde Baru ini, jilid 1 berisi tentang sistem dan tata cara adat Kerinci; jilid 2 tentang kebudayaan rohani dan jasmani orang Kerinci; jilid 3 tentang sejarah Kerinci dari masa ke masa; jilid 4 tentang seni budaya Kerinci (dokumentasi); serta jilid 5 tentang salinan prasasti kuno Kerinci.
Kata-Kata Perandaian
Aku manusia yang penuh dosa. Makhluk yang tersesat. Tahu cara kembali namun tak juga beranjak pergi dari kegelapan yang menyelimuti.
Kesedihan ini sangat menyiksa. Tak ada manusia tepat yang bisa mendengarkanku. Pada siapa lagi aku harus bercerita, untuk lapangkan penat di dada.
Semua terasa tak adil. Bukan, bukannya aku menyalahkan Tuhan. Tuhan sudah sangat baik padaku dengan hembusan nafas ini. Tapi aku tak tahu siapa yang harus kupersalahkan. Diriku? Tak kuasa aku menyalahkan diriku sendiri yang malang ini, apalagi manusia lain. Menyalahkan takdir? Sama saja aku menyalahkan Tuhan. Artinya aku tak boleh menyalahkan siapapun.
Seandainya aku bisa berkomunikasi dengan Tuhan layaknya aku berkomunakasi dengan manusia, aku akan menangis, bercerita dan meminta-Nya memelukku. Sayangnya, komunikasi itu hanya banyangan saja, bukan sesuatu yang nyata.
Ketika manusia menciptakan media untuk mengungkapkan rasa yang ada, sebagian manusia tak menyukainya. Dituduhnya aku menyebarkan aibku sendiri, padahal mereka tidak tahu persis apa yang sedang terjadi pada diriku. Jika mulut manusia bisa dibungkam dalam persoalan sepele seperti itu, mungkin aku tak akan seterpuruk ini. Telingaku tak mungkin kutulikan, dan mataku tak mungkin kubutakan. Aku pasti mendengarkan dan membaca kritikan manusia lain. Aku kasihan pada diriku dan manusia-manusia lain yang bernasib sepertiku, yang tak memiliki seseorang yang mau mendengarkan, menemani dan memeluknya di titik terendahnya.
Akhirnya, ia pun hanya bisa dengarkan lagu-lagu kesedihan sembari tuliskan kata-kata perandaian.
Kesedihan ini sangat menyiksa. Tak ada manusia tepat yang bisa mendengarkanku. Pada siapa lagi aku harus bercerita, untuk lapangkan penat di dada.
Semua terasa tak adil. Bukan, bukannya aku menyalahkan Tuhan. Tuhan sudah sangat baik padaku dengan hembusan nafas ini. Tapi aku tak tahu siapa yang harus kupersalahkan. Diriku? Tak kuasa aku menyalahkan diriku sendiri yang malang ini, apalagi manusia lain. Menyalahkan takdir? Sama saja aku menyalahkan Tuhan. Artinya aku tak boleh menyalahkan siapapun.
Seandainya aku bisa berkomunikasi dengan Tuhan layaknya aku berkomunakasi dengan manusia, aku akan menangis, bercerita dan meminta-Nya memelukku. Sayangnya, komunikasi itu hanya banyangan saja, bukan sesuatu yang nyata.
Ketika manusia menciptakan media untuk mengungkapkan rasa yang ada, sebagian manusia tak menyukainya. Dituduhnya aku menyebarkan aibku sendiri, padahal mereka tidak tahu persis apa yang sedang terjadi pada diriku. Jika mulut manusia bisa dibungkam dalam persoalan sepele seperti itu, mungkin aku tak akan seterpuruk ini. Telingaku tak mungkin kutulikan, dan mataku tak mungkin kubutakan. Aku pasti mendengarkan dan membaca kritikan manusia lain. Aku kasihan pada diriku dan manusia-manusia lain yang bernasib sepertiku, yang tak memiliki seseorang yang mau mendengarkan, menemani dan memeluknya di titik terendahnya.
Akhirnya, ia pun hanya bisa dengarkan lagu-lagu kesedihan sembari tuliskan kata-kata perandaian.
Langganan:
Postingan (Atom)