Cerita ini dimulai sebelum sepeninggalan kawan yang terlepas ruhnya pada Sabtu lalu. Memang, sebelum kejadian itu aku sudah berencana menulis tentang kisah ini. Kisah tentang 'amplop' yang tak lagi kami terima seperti tiga lebaran yang lalu. Hanya saja kematian seorang kawan sekilas memunculkan pikiran bahwa harta-harta yang diperoleh dengan cara-cara yang tak sewajarnya hanya akan membuat celaka saja. Mungkin bukan tubuh kita yang celaka, melainkan keluarga, mulai dari istri hingga anak. Permasalahan bagaimana mencari harta adalah pilihan masing-masing idividu.
Aku tak mau sok suci atau apalah, yang jelas memperoleh harta dengan cara-cara yang baik itu lebih mendamaikan hati dan terasa barakah. Ini soal perasaan dan keyakinan. Jika ada individu tak meyakini soal mencari harta dengan cara yang baik, mungkin akan tenang-tenang saja. Istilah yang sering dipakai oleh kami bagi orang-orang seperti itu ialah 3 H (Halal, Haram, Hantam). Dan sudah banyak dialami oleh individu-individu zaman sekarang. Korupsi, suap apalagi uang 'terima kasih' sudah bukan barang baru. Yang terakhir bahkan sudah 'dihalalkan', padahal dalam ajaran agama itu masuk ke dalam kategori subhat, terutama jika si pemberi merasa tak ikhlas.
Berbicara soal harta subhat, 'amplop-amplop' yang sering diterima suamiku ketika berada di profesi sebelumnya masuk ke dalam kategori itu. Antara halal dan haram. Duit 'abu-abu' aku menyebutnya. Mudah sekali mendapatkannya dan mudah pula keluarnya.
Suamiku bukan tipe orang yang suka meminta-minta 'amplop', bahkan awalnya ia sangat anti, tetapi situasi tak mengizinkannya menjadi seorang wartawan yang idealis. Idealisme teriris. Namun tetap ada yang dipertahankan: Jangan sampai meminta, apalagi memaksa. Sampai ia melepaskan jabatan yang sebenarnya sangat dicintai, ia berusaha menjaga namanya tetap bersih dari embel-embel wartawan bodrex yang menjamur di seantero Jambi.
Ketika ia hendak menanggalkan identitasnya sebagai wartawan, ia mengalami kegalauan. Ada sedikit permasalahan keluarga. Syukurlah ia mantap dengan keputusannya. Katanya: "Aku mau hidup tenang, tanpa tekanan dan harta-harta yang entahlah."
Aku ingat, saat kami ke kantornya dan mengajukan pengunduran diri, bosnya mengatakan: "Sudah punya kebon yang luas ya? Atau tokonya sudah banyak?"
Heh! Boro-boro kebon atau toko, rumah dan kendaraan aja masih kredit. Ya, meskipun banyak yang kami peroleh dari perusahaan itu, tapi tak sebanding dengan tekanan yang diterima oleh kami. Sejak menikah, tak sampai 2 bulan, kami dipindah ke Sarolangun, tak sampai 8 bulan kembali ke Muara Bulian dan tak sampai 4 bulan sudah dipindah ke Jambi. Tak sampai 2 tahun sudah tiga kali pindah kontrakan. Apa itu tidak gila? Memangnya kami kucing yang suka boyongan. Itu ketidak manusiawian pertama yang menjadi alasan aku dan suami sepakat untuk mundur dari jabatan itu.
Gara-gara tak mau ditarik ke Jambi dan kembali ke Muara Bulian, gaji bulanan suamiku menyusut. Aku tahu benar berapa gaji suamiku bulan Desember 2009 dan Januari 2010. Sampai akhir ia mengundurkan diri, gajinya tak sampai 2 juta. Padahal, setiap bulan kami mengeluarkan tagihan Telkomflash sebesar 250 ribu, askes 250 ribu serta uang transport yang tak terhitung jumlahnya. Biaya hidup di Jambi tak jauh beda dengan di Jakarta, uang tak sampai 2 juta apa cukup? Itu sebelum aku mendapatkan pekerjaan. Ini alasan kedua yang benar-benar membuat kami memutuskan supaya suami hengkang dari pekerjaannya dan mencari pekerjaan yang lebih baik.
"Jiwaku nampaknya memang ada pada jurnalisme. Itu terbukti ketika gempa di Jogja, sempat-sempatnya aku memotret di saat orang-orang panik untuk menyelamatkan diri." Itu perkataan suamiku saat awal pernikahan kami. Ia juga pernah bercerita bahwa semasa sekolah sering dipanggil Jurnalis oleh salah satu gurunya. Dua hal yang meyakinkan dirinya bahwa ia ditakdirkan sebagai jurnalis. Aku percaya. Namun, kenyataan tak selamanya semulus yang diharapkan. Sewaktu di Sarolangun, dua teror selalu menyelubunginya. Teror dari kantor dan teror dari pihak-pihak yang suka salah paham dengan wartawan. Teror-teror masyarakat awam itu tak terlalu memusingkan, yang membuat kami sering beradu mulut ialah teror dari kantor. Teror dalam artian tekanan. Orang-orang kantornya sering menekan suamiku tanpa etika. Aku tak perlu menyebutkannya di sini. Biarlah itu menjadi rahasia kami saja. Sudah menjadi resiko seorang jurnalis bekerja di bawah tekanan tetapi bukan berarti mengesampingkan unsur-unsur kemanusiaan. Wartawan juga manusia, bukan binatang dan menekan pun seharusnya dengan bahasa manusia. Inilah alasan ketiga yang paling mendasar, mengapa suamiku mengikhlaskan pekerjaannya.
Ketiga alasan itu tak pernah terucap oleh suamiku di hadapan pimpinannya. Ia keluar dengan alasan mau istirahat.
Alasan itu memang benar. Ia istirahat bekerja tak sampai 1 bulan dan diterima di KKI Warsi. Beberapa kawan menyayangkan ia tak lagi menjadi wartawan dan lebih memilih bergabung dengan LSM yang menurut mereka tak jelas. Mereka memang tak begitu tahu soal kantor baru suamiku itu. Tapi, bagi kami hingga 7 bulan berada di lingkungan kantor yang penuh kekeluargaan itu jauh lebih baik. Lebih manusiawi, meski tanpa 'amplop'.
Setiap bulan suamiku menerima gaji utuh tanpa potongan-potongan apapun kecuali pajak dan uang pensiun (kalau tak salah). Kami juga mendapatkan askes kelas 1 tanpa dipotong dari gaji dan jamsostek. Suamiku juga memperoleh cuti 12 hari yang tak pernah diperolehnya di kantor lamanya karena belum menjadi pegawai tetap. Mau jadi pegawai tetap atau tidak, cuti itu adalah hak setiap karyawan. Alhasil, ia sering mencuri-curi hari kerja jika ada sesuatu yang dianggap penting. Suamiku terpaksa membolos ke Sungai Tapah untuk mengikuti Workshop menulis yang dipandu oleh Andreas Harsono karena tak diizinkan. Saat lebaran pun ia sering tak berada di tempat karena kalau izin pasti tak akan diperbolehkan.
Lebaran kali ini memang terasa lain. Kami tak menerima 'amplop' seperti tiga lebaran sebelumnya. Jika dihitung-hitung, kami pernah mendapatkan 'amplop' mencapai 7 juta. Itupun tanpa meminta. Nominal yang cukup besar bagi keluarga kelas menengah ke bawah, tanpa harus bekerja susah payah. Isi amplop itupun menguap dengan sangat cepat. Bagai bunga ilalang yang tertiup angin. Wush....
Hingga detik ini, kami merasa tenang tanpa 'amplop-amplop' itu, meski lebaran kali ini hanya menerima satu pak minuman kaleng dari sekolahku dan gaji sebulan dari kantor suamiku, serta sisa pinjaman kami. Cukuplah untuk membeli baju lebaran, rak buku, rak piring, buku, THR untuk keponakan dan orang tua. Bulan-bulan berikutnya kami harus berhemat karena hanya bisa mengharapkan sisa gaji, tak bisa lagi mengharapkan 'amplop-amplop' itu dan tak akan lagi selagi prinsip kami masih tetap seperti ini. Ini tak mudah di zamam edan yang katanya kalau tidak edan ora bakal keduman (tidak kebagian). Memilah harta yang benar-benar halal bukan perkara gampang, minimal mendekatinya dengan langkah awal menjauhi yang subhat atau 'abu-abu'.
Semoga prinsip ini kami bawa sampai mati.
1 komentar:
Hi mbak, saya dapat link ini dari Twitter mas Andreas Harsono. Insya Allah berkah lebih menyenangkan. Uang memang penting namun kalau tidak bisa dinikmati buat apa. Kalau kita lebih bahagia dg apa yg kita terima, mengapa tidak?
Sukses selalu ya mbak, salam buat suami dan keluarga
Posting Komentar