:: sebuah obituari
Saat itu, aku melihatnya diantar oleh seorang lelaki -entah bapak atau pamannya- ke sekolah menengah di Jalan Cinta No. 08, Karangsari, Kebumen. Penampilannya yang tak biasa menarik pandanganku untuk terus menatapnya. Baju putih biru yang dikenakannya tak seperti pada umumnya. Ia melipat lengan baju satu atau dua lipatan hingga memperlihatkan putihnya lengan atas miliknya. Ya, itu potret awal tentang remaja putri lulusan sekolah menengah pertama Jakarta.
Wajahnya mulus tanpa jerawat. Rambut bergelombang dan tak terlalu tebal. Hidung pesek dengan gigi tak rapi, tapi bodi langsing dengan kaki yang indah. Bagian tubuhnya yang paling aku suka adalah kaki jenjangnya yang mulus. Sifatnya ceria, ramah dan baik hati. Matanya yang berbinar menyiratkan kecerdasan otaknya. Ya, itu tentang jasmani dan rohani seorang gadis yang baru datang dari kota metropolitan ke kota kecil di selatan Jawa.
Gerak tubuhnya mengarah kepada beberapa arah yang berbeda, teman-teman gaul, pintar dan pendiam. Ia berkawan dengan sesamanya dalam satu kelas maupun lain kelas, tak melihat siapa si teman, ia tak pilih-pilih. Ia mampu berbaur dengan kesupelannya. Ya, itu tentang pergaulannya.
Seseorang yang memiliki prestasi dan pintar bergaul tak membuatnya sombong. Ia tetap menghampiriku sebagai seorang teman. Aku ingat, dahulu sifatku begitu pendiam dan minder dengan ketidakmampuan keluarga secara ekonomi. Ia tak pedulikan itu. Kami menjadi dekat karena satu perjalanan bersepeda setiap pulang sekolah di kelas 1. Ketika orangtuanya mengganti sepedanya dengan sepeda motor, ia sering menyambangiku bahkan mengulurkan tangannya untuk menyeretku supaya roda sepedaku melaju kencang. Adegan berbahaya yang menyenangkan. Sewaktu aku sering pergi kursus bahasa Inggris sendirian di Karanganyar, ia merasa tak enak denganku, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia terlalu baik hati jadi susah menolak permintaan seorang teman belajar kami. Saat aku meminjam motornya dan tak sengajar menabrak batas jalan, ia tak marah padaku. Dua hal yang kutakutkan saat kejadian yang sebenarnya bukan salahku itu terjadi: ia marah padaku dan kena marah bapakku. Aku menangis sesenggukan di depan bapakku hingga ia tak tega untuk memarahiku dan mau mengganti kerusakan. Saat uang yang diberi bapakku tak bisa menuntaskan kerusakan motornya, bahkan aku sempat berhutang yang entah sudah terbayar atau belum, itu tak merenggangkan persahabatan kami. Ya, itu tentang kenangan-kenangan yang tak kan pernah kulupakan seumur hidupku tentang kebaikan seorang perempuan yang diakhir masanya memutuskan mengenakan jilbab.
Yulia Indrawati. Teman yang selalu kujadikan sebagai sahabat sejati hingga saat ini, karena kemuliaan hatinya. Ruhnya telah berpisah dari raganya pada 25 Januari 2011 dan tepat di hari ini ia berulang tahun ke-29. Selamat Ulang Tahun sobat, semoga engkau tenang di alam sana. Aku merindukanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar