Tak
pernah terbersit dalam benak saya bahwa suatu saat saya akan mengunjungi sebuah
prasasti bernama Batu Larung. Nama sebuah prasasti yang tak asing lagi di
telinga. Beberapa buku sejarah pernah menyebutkan nama prasasti itu dan memberi
sedikit penjelasan mengenai peninggalan bersejarah itu. Apakah Anda juga tak asing
lagi dengan nama prasasti itu?
Ada beberapa jenis prasasti Batu Larung yang dapat ditemui di beberapa wilayah yang ada di Jambi. Prasasti Batu Larung merupakan peninggalan megalitik yang hanya dapat ditemui di wilayah Jambi, tepatnya di Kabupaten Kerinci dan Merangin.
Prasasti
Batu Larung yang saya kunjungi terletak di Dusun Tuo, Kecamatan Lembah Masurai,
Kabupaten Merangin, Jambi. Prasasti itu tergeletak di sebuah wilayah yang tak
pernah terbayangkan jauhnya. Perlu menempuh perjalanan sekitar delapan jam
dengan menggunakan kendaraan bermotor dari Kota Jambi.
Bukan
perjalanan yang mudah untuk menjangkau sebuah prasasti yang telah berumur
ratusan tahun itu. Enam jam perjalanan awal masih bisa melewati jalanan aspal
yang lumayan mulus. Memasuki dua jam perjalanan terakhir, aspal tak lagi dapat
ditemui di setiap jalan yang membentang hingga memasuki Dusun Tuo. Bahkan
sekitar 600 meter jalan masuk menuju tempat prasasti Batu Larung berdiri tak
dapat ditemui jalan beralaskan aspal, melainkan tanah yang setiap saat menjadi
becek ketika terkena air hujan.
Batu Larung di situs Dusun Tuo. |
Pada bidang ujung kecil terdapat pahatan figur manusia berupa kepala dan lengan tangan serta di bawahnya satu bundaran dengan dua bundaran lain yang konsentris di dalamnya. Pada badan megalit sisi kiri, atas dan kanan dipahat juga relief timbul. Relief kiri dan kanan badan silinder berbentuk sama, yaitu lima buah deretan bundaran yang dalam setiap bundaran terdapat dua bundaran lainnya secara konsentris. Antar-bundaran terdapat relief timbul berbentuk tetesan air.
Pada badan silinder atas dipahat bentuk enam manusia kangkang yang digambarkan bersambungan seolah-olah yang satu menyangga yang lain. Pada bagian tengah badan atas terdapat sebuah kotak bujursangkar dan lebih ke dalam berbentuk bulat yang diapit kedua kaki dari dua figur manusia kangkang. Ukuran megalit Batu Larung Situs Dusun Tuo: panjang 345 cm, lebar ujung besar 94 cm, lebar ujung kecil 60 cm, tinggi ujung besar 88 cm, tinggi ujung kecil 82 cm. Lubang bujursangkar berukuran 32 cm, lubang bulat berdiameter 20 cm, kedalaman kotak 12 cm.
Gambaran
tentang Batu Larung situs dusun Tuo tersebut saya kutip dari laporan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Tri Marhaeni S. Budisantosa yang berjudul
“Aspek-Aspek Kehidupan Tradisi Megalitik Dataran Tinggi Jambi.” Alasan
pengambilan kutipan itu lebih dikarenakan saya tak lagi bisa menggambarkan
secara detail setelah saya melihat prasasti itu. Bahkan yang terlihat dalam
pikiran saya ketika pertama kali melihat prasasti itu: sebuah batu usang.
Rumah yang mengatapi Batu Larung baru didirikan sekitar akhir tahun 2008. |
Pandangan
mata kita masih bisa melihat relief yang tergambar di sana dan dengan sedikit
meraba pada beberapa sisi prasasti tersebut masih terasa di tangan
guratan-guratan relief seperti yang digambarkan oleh Marhaeni S. Budisantosa.
Misalnya, lima buah deretan bundaran di kedua sisi kanan dan kiri megalit itu masih nampak jelas. Namun relief tetesan air yang terletak di sela-sela antar-bundaran tak lagi terlihat, bahkan ketika diraba oleh tangan, relief itu seakan ditenggelamkan oleh zaman yang menjadikannya aus. Manusia-manusia kangkang yang terpahat di badan silinder atas tak terlihat lagi. Relief pada ujung besar tak lagi terlihat wujudnya bahwa relief tersebut menggambarkan kepala manusia, melainkan hanya sebuah bulatan berdiameter sekitar 15 cm.
Selain
itu, lubang bujursangkar yang diapit relief manusia kangkang saat ini tak lagi
berfungsi sebagai tempat penumbuk padi. Beberapa tahun silam, lubang
berdiameter 20 cm itu pernah berfungsi sebagai tempat penumbuk padi yang
digunakan oleh penduduk Dusun Tuo. Warga menumbuk padi di lubang itu ketika
musim panen tiba dan saat itu belum ada mesin penumbuk padi.
Yang
lebih menyedihkan lagi dari kondisi peninggalan bersejarah zaman Megalitikum
ini adalah banyaknya pahatan-pahatan baru dari manusia-manusia modern yang
belum mengerti pentingnya pelestarian peninggalan sejarah bagi kehidupan
mereka. Salah satu pahatan bertuliskan huruf Latin ‘Cik Dang’ tertoreh di sana.
Beberapa pahatan kecil lain yang bertuliskan nama-nama pasangan muda-mudi yang
(mungkin) dulu sedang memadu kasih di atas Batu Larung situs Dusun Tuo itu
menjadi sebuah relief baru. Batu itu kini seolah tak lagi menunjukkan
peninggalan megalit melainkan menjadi sebuah ‘prasasti cinta’ baru manusia
modern yang pernah memadu kasih di atas benda bersejarah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar