Rabu, 26 September 2012

Buku Harian

"Benih menulis lahir di antara goresan-goresan Buku Harian."
Kegiatan yang terkadang menjadi kebiasaan buruk tetapi paling menarik ialah mencuri baca buku harian. Pencurian pertamaku ada pada buku harian mbakku. Ia hobi menulis buku harian dan itu sangat menginspirasiku. Terkadang, buku harian berisi curahan hati yang tulus diungkapkan oleh seseorang mengenai kehidupannya yang tak ingin diketahui oleh siapapun, namun acapkali buku harian juga dijadikan catatan kebohongan untuk mengambil simpati atau hanya untuk alarm hidup supaya mengingatkan kembali ketika memori otak tak dapat memutar kembali kenangan-kenangan yang mungkin sudah dan akan terlupakan.


Kebohongan, karena selama aku membaca buku harian beberapa orang, ada satu yang menurutku tidak berisi kata-kata yang tulus dari hati. Buku siapa, tentu saja aku tak mau menyebutnya.

Aku menulis buku harian sejak SMP, tepatnya kapan aku sendiri lupa. Arsip buku harianku sengaja aku tinggalkan di rumah orang tuaku dan sekarang aku merasa terpanggil untuk membawa mereka ke rumahku. Alasanku meniggalkannya dalam kardus di sudut kamar karena kenangan pahit yang tak ingin kuingat. Ada niatan untuk menghanguskan buku harian itu, namun kuurungkan. Kenangan pahit sekalipun tak kan bisa terhapus meski menghanguskan bukti-bukti yang tersisa. Aku meyakini, kenangan-kenangan itu suatu saat bermanfaat buatku.

Manfaat buku harian itu baru kusadari beberapa tahun terakhir ini. Buku harian itu ternyata semacam terapi kejiwaanku yang mengalami pergolakan batin dan tak tahu harus mencurahkannya kepada siapa. Mulai dari masa remaja, remaja tanggung, hingga ke tahap dewasa permulaan. Terapi Buku Harian membuat batinku lebih kuat, tak mudah terpuruk dan menjadi pribadi baru seperti sekarang ini. Jika mengingat masa lampau kehidupanku, aku saat ini sangat jauh dengan aku saat dulu.

Ketika aku pulang pada lebaran tahun 2011, aku membuka lakban dan membaca ulang kalimat-kalimat dalam buku harianku. Ada banyak yang kuingat dari isi buku harian itu tapi lebih banyak terlupakan dan sekarang aku rindu untuk membaca ulang tumpukan buku harianku.

Mungkin ada sekitar sepuluh buku yang berisi ribuan deret kata tentang curahan hatiku, kemarahan, kesedihan, cinta, bahagia dan hampa. Kebanyakan cinta dan kemarahan. Cinta itu picisan sekali tapi itulah yang memenuhi buku harianku. Dari situlah aku bisa merangkai kata-kata indah, mulai dari puisi hingga cerpen.

Tak pernah kusadari bahwa menulis buku harian menjadi cikal-bakal proses kreatifku dalam membuat karya sastra. Aku sering minder dengan tulisanku sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi rasa minder itu, tekanan batin dan kurangnya motivasi dari orang-orang terdekatku. Maka, ketika aku mulai hidup bersama suamiku yang selalu memberi kata-kata penggugah semangat untuk menulis, saat itulah roh menulis dalam diriku serasa bangkit. Rasanya luar biasa dan sempat tak percaya karena aku mampu menulis sebuah cerpen dalam waktu dua jam saja dengan kualitas yang lumayan alias tidak amatiran. Sebelumnya tak pernah sekalipun membuat cerpen, hanya puisi saja yang pernah kutulis dalam buku harianku.

Cerpen pertamaku berjudul 'Sungai Tolang', terinspirasi dari kejadian di sekitarku dan kukombinasikan dengan ingatan-ingatan yang kuselewengkan hingga jadilah cerpen yang sempat membuat bulu romaku merinding.

Entah cerpen yang keberapa 'Tiga Sajak yang Menari di Kepala' itu kubuat. Cerpen itu sempat menggetarkan hati suamiku dan membuatnya berpikiran macam-macam. Memang, cerpen itu terinspirasi dari kisah cintaku yang teramat pahit, namun kuselewengkan teramat jauh. Diam-diam aku mengirimkan ke Kompas dan tak kusangka dimuat tanggal 30 Mei 2009, saat aku mengantar nenek dan adikku pulang ke Kebumen. Setelah itu, aku beberapa kali mengirim cerpen dan tak pernah dimuat. Dan sejak 2010 aku tak lagi produktif menulis karena diterima menjadi pegawai negeri.

Nyaris vacum menulis selama berprofesi menjadi ambtenar. Tak ada lagi waktu tersisa untuk menulis karya sastra, otak sedikit macet dan tenaga habis. Terkadang aku menyesal, mengapa dulu memilih mengabdi pada pemerintah dibandingkan menulis lepas. Tapi apalah daya, kayu sudah menjadi arang, tinggal dinikmati saja. Mensyukuri apa yang sudah menjadi pilihan hidup. Toh, aku masih bisa menulis juga walau tak mendapatkan honor dan tak banyak dibaca orang. Kepuasan batin yang terpenting dalam menulis.


Tidak ada komentar: