Sabtu, 05 Januari 2008

Anak Kereta

Jogja-Kebumen-Purwokerto-Jakarta, lintasan yang tak asing lagi buatku. Disitulah hidupku mengalir melewati petak-petak ril kereta kelas 3 Progo, langgananku. Seharusnya, aku bisa dapat kompensasi dari armada itu, sebab hampir setiap minggu menjadi penanti setia lokomotif itu. Hal yang sangat melelahkan sekaligus jenuh, bila tiba saatnya melewati malam di dalam kereta itu. Kereta yang selalu dipenuhi penjual yang 'hebat-hebat' (tak mengenal lelah demi ribuan rupiah), kondektur yang nggatheli (tuntutan hidup), orang-orang usil, pengamen biasa ataupun banci, serta orang-orang majemuk lainnya.
Setiap menit di dalam kereta itu, hanya kuhabiskan tuk pura-pura tidur, ngobrol, dan jikalau sendiri yang ada hanya rasa was-was. Itulah seninya, sensasi dalam kereta kelas 3, kata salah satu sahabat seperjuanganku di lembaga kronikus. Kata-kata itu dan keterpaksaanlah yang memaksaku untuk mencicipi nuansa kereta kelas rendah di negeri ini, Indonesia-ku.
Namun semenjak aku mengenal 'anak kereta' itu, aku tak lagi merasa malas, enggan, jenuh, taupun perasaan-perasaan lain yang tak mengenakkan. Dialah yang membuatku sangat menikmati trip itu, karena aku merasa selalu ada yang kutunggu di dalam kereta itu. Dia yang selalu kurindukan. Bila tak terlihat batang hidungnya, aku selalu tengak-tengok, tanda bahwa aku mencarinya. Aku hanya ingin melihatnya dan memberinya uang untuk makan. Tak banyak kulakukan. Hanya meyakinkan hati ini bahwa ia 'baik-baik' saja, ia masih hidup dan bertahan di kendaraan melata itu.
Ia begitu tak kukenal, ia tak asing lagi dimataku, ia begitu beriku pelajaran: "aku harus bersyukur pada setiap takdir hidupku," ia begitu membuatku trenyuh, ia begitu buatku rela meneteskan kristal bening di pelupuk mataku, ia begitu membuatku marah pada pihak-pihak yang tak mempedulikannya, ia begitu buatku harus merealisasikan cita-citaku, ia begitu kunantikan setiap malam-malamku di Progo, ia begitu berarti buatku...
Ia seorang tuna rungu, ia seorang anak yang seharusnya duduk di ruangan yang disebut sekolah, ia seorang yang kuat menantang debur angin di setiap sela-sela lubang progo itu, ia seorang yang tak tahu bahwa ada yang mempedulikannya. Sakit... yang kurasakan setiap melihatnya. Boro-boro mengenyam bangku sekolah yang senantiasa diliputi dengan ilmu pengetahuan, untuk mencari sesuap nasi guna mengisi perutnya, ia kesulitan. pertahanan hidupnya hanya sebatas mengulurkan tangan ke tuan-tuan yang budiman. Apalagi untuk mengenal agama, ia tak diizinkan! Agama terlalu memanusiakan dia, padahal alam belum mengijinkannya. Mungkin orang-orang 'pagan' itu, harus belajar darinya, betapa mereka lebih beruntung daripadanya. Mereka dengan leluasa memiliki pilihan untuk mengenal agama dan menikmati keheningan ruh-Nya, sedangkan ia terbelenggu oleh nasib. Nasiblah yang membawanya menjadi 'anak kereta'.
Ia hanya salah satu dari sekian anak kereta di negeri yang menjadi korban kebohongan pelaksana UUD 1945.
Suatu saat, bila kita memang berjodoh, aku ingin merangkulnya menuju kehidupan yang memang seharusnya ia peroleh. Tuhan tahu apa yang terbaik buat umatnya...
Satu pelajaran kuambil dari rangkaian hidupku...
SMANGAT!


1 komentar:

Lilih mengatakan...

Lha kinyong ini bikin blog ya? Jadi kinyong bisa rika rikaan bareng nang kene yak? Horai