Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo. Dua minggu aku membaca buku itu, itupun tak benar-benar ku membacanya, biasa... sesekali melewatkan beberapa lembar halamannya, he. Filosofis sekali, lumayan sulit dimengerti, tidak seperti Mantra Pejinak Ular, ceritanya lebih menarik, mudah dimengerti dan menggelikan. Kisah si Barman (lupa aku nama pelakunya) sebagai seorang tua yang menginginkan hari tuanya dengan damai, malah menemukan segerombolan penguntit yang menginginkan fatwanya. ia terbelenggu oleh komunitas yang tak sengaja dibuatnya. Komunitas itu terbentuk hanya dengan satu pertanyaan: "bahagiakah kau?"
Kalimat itu telah menyihir seluruh penghuni pasar di bukit itu. Aku menangkap pada akhir kisah ini bahwa si tokoh utama itu pada akhirnya mati ataukah melarikan diri dari jeratan komunitas itu. Si tukang sapu pasar sebagai penyambung lidahnya pun mengikuti jejaknya, lari... menjadi manusia baru. Bagian akhir inilah yang membuatku terarik, bikin penasaran, apa makna dari paragraf-paragraf terakhir karya sastrawan sekligus sejarawan asal Klaten itu. Kuntowijoyo, sastrawan yang sangat halus dalam menggambarkan suatu peristiwa, tak fulgar. Halus, namun dimengerti. Tak seperti penulis-penulis saat ini, penuh gairah dan itu bikin jadi tak menarik. Karena kata-kata terselubung bikin penasaran, he. Aku jatuh cinta pada karya Kuntowijoyo sepeninggalan ruhnya dari alam ini. Sastrawan dengan pribadi yang mengesankan, Njawani tur Islami. Karena nulis tentang ini, jadi inget kata-kata mbakku dulu, gurunya cerita tentang asal-usul nama anaknya, Chairendra. Gurunya itu begitu mengagumi Chairil Anwar dan Rendra, so kedua nama itu digabunglah menjadi satu. Inilah yang membuat aku tertarik dengan karya sastra, selalu ada yang baru, yang membuat hatiku tergerak untuk mendekatinya. Sastra itu anaknya bahasa... (ngarang dhewe, hehe)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar