Selasa, 29 Mei 2012

Sensasiku di Gerbang Koto Mahligai

Candi Koto Mahligai berisi menapo-menapo (gundukan batubata bercampur tanah) yang belum dipugar. (Sumber: Kompas Citizen)
Akhirnya aku sampai di 'gerbang' candi Koto Mahligai, kawasan terakhir yang kutapaki dari situs Muara Jambi. Hari Minggu, 20 Mei 2012, perjalanan menempuh kawasan terakhir yang benar-benar ingin aku kunjungi. Kunjungan sebelumnya tak sampai ke sana, jalanan terlalu becek dan waktu tak longgar, itu yang menjadi kendala. Saat hari yang biasa diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional itulah aku menyambanginya. Tak menyangka hari itu aku bersua dengan kawasan yang bikin aku penasaran selama mengenal situs Muara Jambi.

Awalnya aku tak bermaksud ke sana, melainkan mengikuti tripnya Jambi Punyo Cerito, kumpulan pemuda pecinta tempat-tempat sejarah di Jambi yang dicetuskan oleh Yoseph Kelik. Itu kali kedua aku mengikuti perjalanan mereka. Masih 'buta kayu' kata orang Jambi, untuk menyebut kumpulan tersebut. Pencetus maupun 'panitia'-nya masih belum profesional, tak seperti perkumpulan pecinta tempat sejarah di beberapa kota besar di Indonesia, namun semangatnya patut diberi acungan jempol. Aku yakin jika perkumpulan ini digarap dengan profesional akan meningkatkan popularitas wisata di Jambi.

Saat memasuki gerbang utama komplek candi Muara Jambi, aku dan suamiku harus membayar uang Rp. 8.000,-/2 orang tanpa menerima karcis. Entah masuk ke mana uang itu. Seingatku, ketika kedatangan pertama bersama suamiku, uang masuknya cuma Rp. 3.000,-/orang. Setelah kehebohan perusakan situs tersebut didengungkan di beberapa media, mereka meningkatkan tarif. Bukan tanpa alasan kecurigaanku soal uang itu masuk ke kantong siapa? Alasanku yaitu pengalamanku saat aku membawa rombongan muridku untuk studi lapangan ke sana, aku cuma membayar sekitar 250 ribuan untuk 120 orang, jadi per orang bertarif sektar Rp. 2.000,-. Lebih mengherankan lagi, karcis yang kuterima tak sesuai dengan jumlah orang yang kubawa. Basing bae, begitulah istilah bahasa Jambi untuk menyebut kata sembarangan.

Menariknya lagi, beberapa pemuda yang iseng-iseng nongkrong di jalan-jalan strategis memintai 'karcis' masuk untuk orang yang dikira menggunakan jalan pintas menuju lokasi candi. Maklum saja, komplek candi ini terlalu luas sehingga pemerintah belum mampu memberi 'pagar' supaya mengurangi pungutan liar seperti itu. Aku bicara seperti ini karena mengalami sendiri ketika kembali dari lokasi tempat Pesta Kanal Kuno.

Itu kisah karcis yang masih amburadul dan perlu penanganan khusus karena aku yakin masyarakat di sekitar candi merasa bahwa candi itu milik mereka sehingga mereka perlu dilibatkan jika ingin memajukan objek wisata ini. Dan itu bukan persoalan mudah!

Pesta Kanal Kuno tak dilakukan di komplek utama (candi Gumpung, Tinggi dan Tinggi I), melainkan dekat dengan candi Kembar Batu, serta ada sebuah danau yang menjadi muaranya. Sayang sekali aku tak menikmati Pesta Kanal Kuno itu, yaitu menaiki sampan untuk menyusuri kanal-kanal kuno yang bermuara diantara candi Kembar dan Danau Kelari. Ada juga lomba mengayuh sampan untuk meramaikan pesta tersebut.

Saat itu, acara pembukaan Pesta Kanal Kuno baru saja dimulai yakni dengan adanya lomba tarian, lomba gasing dan lainnya untuk menyemarakkan pesta tersebut. Pembukaan yang memakan waktu lama itu, membuatku tak tahan untuk segera mengajak suamiku pergi ke Bukit Perak.

Suamiku bertanya: "Apa kamu yakin itu jalan menuju ke Bukit Perak". Aku pun menjawab dengan nada kesal karena meragukanku: "Aku yakin, nenek moyang pembuat candi ini kan sudah menyatu denganku makanya aku yakin!" Kata-kata itu kuucapkan ketika masih berada di sepanjang jalan candi Gedong I dan Gedong II.

Jalan yang dahulu kuurungkan melaluinya ketika selesai mengunjungi candi Kedaton karena becek, kembali kususuri hingga menuju candi Koto Mahligai. Aku yakin sekali jalan itu menuju Bukit Perak bukan candi Koto Mahligai. Tak ada conblock seperti sepanjang jalan mulai dari candi Gumpung hingga candi Gedong II. Hanya setapak beralaskan tanah yang susah dilewati sepeda atau motor karena berair. Dari candi Kedaton hingga candi Koto Mahligai sekitar 1 kilometer dan 500 meter setelah candi Kedaton terdapat jembatan kayu yang membelah kanal kuno. Jembatan itulah yang menghubungkan ke candi Koto Mahligai.

Perasaan aneh menyelubungi tubuhku setelah melewati jembatan di atas kanal kuno itu. Suasana sepi dan terasa mistis. Tak ada orang dan hanya kami berdua. Kanan-kiri jalan berupa kebun duku yang tentu saja tak ada orang. kami hanya menemui 1 gubuk kecil sebelum sampai ke candi Koto Mahligai.

Mesin motor metik berhenti di depan 'gerbang' candi Koto Mahligai. Aku turun dan terpaku.

"Seeeeeerrr...." Hatiku berdesir.

Suamiku menekuk telapak tangannya bak pipa ke daun telinganya.

"Dag. Dig. Dug!" Jantungku semakin memburu.

"Ayo naik," ajak suamiku sembari menyalakan mesin motor.

"Idak!" seruku.

Suamiku turun dan meminta dipotret di bawah papan nama candi Koto Mahligai. Aku pum memotretnya dan sebelumnya memotret pohon tua terdekatku dan sekeliling candi itu sekali.

"Ayo, jalan!" Suamiku kembali mengajak.

Sekali lagi aku menolak dan bersikeras untuk meninggalkan tempat itu. Kata suamiku wajahku nampak pucat kala itu.

Aku merasakan sensasi luar biasa. Ketakutan yang luar biasa dengan hawa candi Koto Mahligai. Komplek itu masih berupa menapo-menapo yang belum dipugar dan aku merasa komplek inilah yang paling jarang dikunjungi. Pohon-pohon duku yang sudah berumur ratusan abad masih tegak di komplek ini. Mungkin ada sekitar lima buah pohon atau lebih. Saking tuanya, ada salah satu pohon yang batang terdekat akarnya berlubang. Jonathan Zilberg, seorang antropolog yang kukenal pernah berfoto disela-sela batang berlubang itu. Aku tertarik untuk berfoto di lubang batang pohon itu, tapi jiwa penakutku mengurungkannya. Aku berfikir, tak ada orang lain selain aku dan suamiku sehingga aku tak berani ambil resiko jika salah satu diantara kami (terutama aku) mengalami kerasukan. Aku orang Jawa dan Islam, masih percaya ada kekuatan gaib di luar manusia, bukan setan tapi jin. Terlalu NDESO mungkin, tapi bulu kudukku tak bisa kubohongi: aku memang TAKUT!

Jadi, aku tak sempat memasuki komplek candi Koto Mahligai, hanya 'pintu gerbang'-nya saja.

Aku kembali dengan perasaan lega tapi tak kapok untuk ke sana lagi dan tentu saja dengan banyak orang tak hanya berdua, hahaha....

Seperti yang aku kira di awal, dalam candi Koto Mahligai terdapat menapo tertinggi yang aku kira Bukit Perak, ternyata bukan. Bukit Perak berada di persimpangan ke kanan dari pertigaan di dekat jalan candi Kedaton. Wah, rupanya perjalananku belum berhenti sampai di sini. Aku masih harus dan ingin sekali menapakkan kaki di Bukit Perak. It's Amazing for my pilgrimage to Muara Jambi Site!

Tidak ada komentar: